Pirous merasa takjub setelah beberapa kali ikut festival di musim gugur tersebut untuk menjual karya grafisnya. Di sana, peserta hanya diminta membawa tongkat dan tali guna memajang karya seni buatan mereka untuk dijual dengan harga murah. Seniman lama dan baru berbaur dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjual hasil rajutan.
Pasar Seni perdana menghadirkan karya pelukis A. Sadali, Mochtar Apin, Popo Iskandar, Rita Widagdo, alumni Seni Rupa ITB lainnya, serta perajin dan seniman otodidaktik di sekitar Bandung. Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Biranul Anas, yang saat itu masih mahasiswa, mengatakan rampak kendang dan kesenian tradisional daerah Subang, Jawa Barat, serta kelompok musik Sawung Jabo ikut memeriahkan perhelatan.
Sejak itu, Pasar Seni rutin digelar walau selang waktunya acak, yaitu pada 1976, 1980, 1984, 1988, 1990, 1995, 2000, 2006, dan 2010. Pirous mengatakan acara yang awalnya berjalan empat tahun sekali hingga tiga kali perhelatan itu masih sesuai dengan tujuan semula. Cita-citanya adalah menjual karya seni dengan harga murah.
Menginjak acara yang keempat kalinya, Pasar Seni menjadi lebih meriah oleh pertunjukan seni serta arak-arakan. "Semakin banyak masyarakat yang ingin tampil, mungkin karena Pasar Seni tak digelar setiap tahun," ujarnya.
Menurut Pirous, yang selalu ikut menjadi peserta, panitia kemudian membuat zoning arena. Tujuannya untuk memudahkan pengunjung yang berniat membeli karya seni atau sekadar menikmati suasana. "Karena banyak orang yang terpikat oleh atraksi sehingga yang berjualan terdesak," katanya. Ke depan, ia mengusulkan agar Pasar Seni menjadi ajang festival.
ANWAR SISWADI