Di stan lainnya, perupa Sunaryo pun sudah kipas-kipas. Gambar tunggal terbarunya, yang berukuran 120 x 140 sentimeter berjudul Sebelum Pentas, diminati 19 kolektor. Ia lalu melelang secara tertutup gambar tentang seorang perempuan penari Bali itu dengan harga awal Rp 75 juta. Tepat pukul 14.00 WIB, hasil lelang dibuka. Pemenangnya Trisna Chandra, kolektor asal Jakarta, dengan harga tawaran Rp 330 juta. Selain itu, tutur Yus Herdiawan dari Selasar Sunaryo Art Space, 200 karya grafis Sunaryo lainnya yang dibanderol Rp 500 ribu hingga Rp 3 juta pun tinggal tersisa belasan lembar ketika acara selesai pukul 18.00.
Sejak dibuka pukul 08.00, pengunjung membanjiri arena di Jalan Ganesha, di depan kampus ITB, Jawa Barat, yang disulap menjadi Jalan Seni. Seperti arus kendaraan di sekitar arena yang macet, ribuan orang di Pasar Seni harus berjalan dan berbaris antre sambil berdesakan selepas gerbang kampus. Jalanan tak tersisa setapak pun. Namun cuaca terik tak menyurutkan mereka menyusuri 200 lebih stan berisi karya seni dan produk kerajinan yang terbagi dalam enam zona, mulai belakang Aula Timur dan Barat hingga depan Labtek Farmasi itu. "Tak kurang dari 60 seniman Bandung dan luar kampus cap gajah yang mengisi stan," kata ketua umum acara Tisna Sanjaya.
Pengunjung pun menyemut di sekitar 80 stan kuliner serta dua panggung musik yang menampilkan band, antara lain P-Project, Krakatau, Saratus Persen, dan The Panas Dalam. “Pengunjung diperkirakan mencapai 200 ribu orang,” ujar ketua pelaksana Pasar Seni, Indra Audi Priatna
Tapi pasar yang digagas sejak 1972 itu tak melulu soal transaksi. Di perhelatan ke-10 kali ini, acara selama 10 jam di kampus Jalan Ganesha Nomor 10 tersebut dibuat lebih spesial. Meneruskan tradisi untuk membuka ruang bagi pertunjukan seni, bursa pemikiran tentang seni dan persoalan hidup juga terasa kental. Bertema “Sesuatu yang Terlupakan”, Tisna dan mahasiswanya membalut perhelatan itu dengan persoalan kota urban, lingkungan, budaya, dan tradisi di tengah zaman teknologi serta informasi sekarang ini. “Karya di Pasar Seni ini juga sebagai gerakan kebudayaan,” kata Tisna
Dimulai dari ruas jalan di depan kampus, sepasang menara gerbang seperti tanduk setinggi 7 meter yang disusun dari ranting kayu hasil pemangkasan Dinas Pertamanan menyambut pengunjung dari arah Jalan Tamansari dan Dago. Selepas itu, karya instalasi, gambar, dan performance art oleh puluhan seniman mencuri perhatian di kedua sisi jalan. Sebuah mobil dari kancing dan benang yang tergantung di pohon mengkritik budaya konsumtif. Gantungan tabung-tabung gas ukuran 3 kilogram mengingatkan kita akan bahaya ledakan dari dapur
Ketua Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung Anggiat Tornado menampilkan 20 foto orang gila yang berkeliaran di Bandung seukuran kulkas. “Sekarang sudah banyak orang gila, dulu era 70-an orang Bandung cuma kenal Entur dan Nurmi,” kata Anggiat, seniman alat musik sampah Dodong Kodir. Selepas gerbang kampus, perhatian pengunjung tersita oleh kehadiran potongan tubuh patung 3 Mojang karya Nyoman Nuarta yang diturunkan Wali Kota Bekasi setelah didesak sebuah organisasi massa pada Juni lalu
Secara khusus, panitia memberikan ruang di lapangan rumput dekat Aula Timur sebagai Zona Tradisi. Di sana, di antara ratusan batang padi dalam polybag yang siap panen, ratusan pengunjung terlihat asyik menikmati permainan musik celempung dan karinding yang berbahan bambu. Puluhan orang lainnya berkerumun dengan takjub di sekitar permainan 200 lebih layang-layang yang dirangkai memanjang lalu diterbangkan dengan seutas benang. Di area tersebut juga berdiri Menara Jamming karya mahasiswa Seni Rupa dan Teknik Elektro ITB, yang melenyapkan sinyal telepon seluler dalam radius pendek. “Supaya pengunjung melupakan sejenak teknologi dan berinteraksi dengan orang di sekitarnya,” kata Indra, ketua pelaksana acara
Dari hasil 10 kali orasi budaya tentang lingkungan, sosial, tata kota, dan seni, pasar yang digarap sekitar 1.600 mahasiswa Seni Rupa dan Teknik ITB itu menghasilkan perahu pinisi sepanjang 10 meter dari rangka bambu dan berbagai wahana yang bisa dinikmati publik. Ratusan orang terlihat berbaris antre hingga tiket seharga Rp 5.000 habis, seperti di Wahana Lorong Ilusi Waktu, Vibrator Simulasi Gempa, dan Museum Masa Depan. Ratusan mahasiswa lainnya mengumpulkan air dari berbagai sumber di Bandung lalu didoakan warga dan diolah agar bisa diminum di Wahana Air Doa
ANWAR SISWADI