Penerbitan itu merupakan bagian dari ambisi Yayasan Lontar, Jakarta, untuk menerbitkan sebanyak mungkin karya sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Sejak berdiri pada 1987, jumlah terbitan mereka belum mencapai 100 buku. Namun Lontar optimistis, dengan perkembangan teknologi cetak yang memungkinkan sistem print by demand dan pemasaran melalui Internet, target itu akan segera tercapai.
Menurut Direktur Yayasan Lontar Jhon H. Mcglyn, pihaknya kini tidak perlu mencetak buku dalam jumlah besar dengan risiko tidak laku dan memenuhi gudang. Lima buku yang diluncurkan tersebut pun masing-masing hanya dicetak 100 eksemplar. “Kalau ada pesanan, baru kita cetak lagi,” ujarnya.
Baca Juga:
Soal duit, yayasan ini memang harus terus berhemat. Penyokong utama mereka adalah sejumlah donatur, seperti Ford Foundation. Adapun dari pemerintah Indonesia, tutur Jhon, mereka baru sekali dibantu dengan nilai bantuan sekitar Rp 500 ribu. “Kalah jauh dibanding dana untuk pengiriman delegasi kesenian ke luar negeri,” katanya.
Padahal buku dan karya sastra sebenarnya tidak kalah penting untuk memperkenalkan Indonesia. Buku-buku yang diterbitkan Lontar, misalnya, selalu menjadi acuan utama di sejumlah universitas yang memiliki program studi Indonesia.”Itu juga yang menjadi pasar utama kami,” Jhon menjelaskan.
Adapun bagi para penulisnya, upaya Lontar itu menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi, kata Hannah Rambe, buku mereka sering dipandang sebelah mata. Buku Mirah dari Banda, yang ditulisnya pada 1982, ditolak oleh penerbit besar dan baru diterbitkan oleh UI Press pada 1986. Saat itu, Sri Edi Swasono, yang memimpin UI Press, pun mendapat sorotan karena sebelumnya penerbit milik Universitas Indonesia itu hanya menerbitkan karya ilmiah.
ROFIQI HASAN