"Kami sudah siap untuk mementaskannya, meskipun tanpa bantuan pemerintah," kata Atilah, istri taipan Edward Soeryadjaya, di Jakarta, hari ini. Atilah menjadi penggagas, penulis naskah, sekaligus sutradara pementasan ini.
Matah Ati adalah sebuah sendratari yang mengangkat perjalanan cinta dan perjuangan Rubiyah, orang desa yang kemudian menjadi pemimpin prajurit perempuan Jawa di abad ke-18. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa kemudian menyunting Rubiyah, yang lalu berganti nama menjadi Raden Ayu Kusuma Matah Ati.
Baca Juga:
Atilah menggarap naskah pertunjukan ini selama dua tahun. Dia melakukan studi mendalam melalui riset kepustakaan, tapak tilas dan wawancara langsung sejumlah sumber. Meski demikian, literatur mengenai Rubiyah sangatlah minim, sehingga Atilah mengolah lebih lanjut bahan yang ada agar bisa menyusun adegan per adegan dalam sebuah bingkai cerita yang lengkap.
Penari utama pertunjukan ini adalah Fajar Satriadi dan Rambat Yulianingsih. Keduanya pernah menari berpasangan dalam Opera Diponegoro karya Sardono W. Kusumo. Pentas Matah Ati melibatkan 95 penari dan pengrawit serta kurang lebih 125 pekerja seni profesional dari Institut Seni Indonesia Surakarta. Atilah juga menggandeng beberapa seniman senior, seperti Blacius Subono, Elly D. Luthan dan Sulistyo Tirtokusumo. Adapun koreaografi tarinya dirancang oleh Eko Supendi, Nuryanto, dan Daryono, dengan memanfaatkan sepenuhnya seni tari tradisional Jawa Surakarta untuk menunjukkan teknik tari asli Mangkunegaran.
Adapun Jay Subyakto merancang sebuah panggung khusus dengan kemiringan 15 derajat, yang memungkinkan penonton melihat penuh konfigurasi tari. "Kami sudah mengapalkan panggung itu ke Singapura untuk dipasang di sana," kata Jay. Sebentar lagi, seni tradisi Surakarta itu akan hadir di panggung dunia.
Kurniawan