“Perkenalkan, aku Madonna.” Ucapan itu seolah terlontar dari permukaan kulit tubuh sang penari yang gemulai. Dengan menjinjing sebuah sepatu hak berwarna cerah, penari perempuan yang berpasangan dengan penari pria itu melompat dan berputar. Pasangan penari itu diikuti penari perempuan lainnya--yang juga masing-masing berpasangan.
Itulah Madonna! My Darling, sebuah persembahan tari dari Hyun Ok Park, yang menjadi nomor pembuka perhelatan seni kontemporer internasional, Art Summit VI 2010, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin malam pekan lalu. Selain suguhan kelompok tari Daegu City Modern Dance Company, Korea, itu, perhelatan tersebut menampilkan sekitar sepuluh nomor seni dari mancanegara, seperti Belanda, Austria, dan Amerika Serikat.
Madonna!, yang berawal dari sebuah karya penyair Sanghwa Lee yang bertajuk To My Bedroom, merupakan sebuah penafsiran tentang Madonna dari pemujanya. Karya tari yang sempat menuai kritik ini lahir dari puisi keputusasaan dan kesia-siaan sang penyair, yang menghadirkan sebuah mimpi dalam era postmodernisme, dengan konsep seni yang sensasional.
Lazimnya sebuah pertunjukan yang bahagia, Madonna digambarkan sebagai pribadi yang menyenangkan di tengah publik. Lima pasangan penari tampil ceria, riang, dan bahagia. Mereka berdiri dalam sebuah koreografi duet yang berbeda-beda. Dalam babak pertama, Stay Only in My Dreams, gerak dasarnya dominan balet.
Pada babak kedua bertajuk Am I Finally Mad?, suasana menjadi muram. Di sini medium sepatu berganti kursi. Sepuluh penari membawa kursi masing-masing dan membentuk lengkungan U di tengah panggung.
Saat seorang penari pria bertopeng putih muncul di pinggir panggung dengan tarian patah-patah, para penari lainnya sibuk bertukar tempat. Adegan ini menggambarkan sebuah kehidupan yang berjalan di antara keselarasan dan ketidakselarasan. Ada penari yang ingin menyatu, tapi banyak pula yang memilih berkonflik. Lengkungan U digambarkan sebagai labirin pencarian jati diri.
Memasuki babak ketiga, pria bertopeng putih itu menjadi gila. Ia terobsesi pada sosok penari perempuan: Madonna. Di atas kursi yang kakinya beroda, ia lunglai berpangku pada Madonna. Keduanya kemudian melakukan gerakan-gerakan dengan tempo lambat. Dan sang pria kian terobsesi dan terus mengikuti setiap langkah Madonna. Hingga akhirnya pria itu diempaskan dan menjadi tambah gila.
Secercah harapan muncul dalam babak keempat, Darkness Is Another Light. Keterpurukan pria itu justru menghadirkan bunga yang bermekaran di sekelilingnya. Di atas pentas, adegan tersebut digambarkan dengan para penari perempuan berkostum merah muda menyala yang mengelilingi sang pria yang tengah berduka. Mereka menari dengan wajah ceria. Para penari itu melakukan lompatan-lompatan energetik seraya melontarkan teriakan: “Saatnya bangkit!”
Dan pertunjukan tarian itu disudahi dengan babak penutup: Madonna! Let Us Go Back to Old Day!. Pada babak ini digambarkan keinginan santai sejenak dan kembali ke kehidupan yang wajar. Hal itu ditandai dengan kostum penari pria yang mengenakan kain berbentuk celana gombrong dan kemeja yang tak dikancing. Mereka mulai menaruh satu per satu sepatu, beragam jenis dan warna, dari bot, high heels, kets, pantofel, hingga sepatu olahraga.
Menurut koreografer Hyun Ok, biasanya tarian ini dibawakan dengan sepatu tradisional Korea sebagai penggambaran kembali ke masa silam. Tapi, karena keterbatasan teknis, akhirnya diganti dengan sepatu modern.
AGUSLIA HIDAYAH