Tempo interaktif, Ubud-Lampu sorot menari di panggung. Menampilkan tekstur layaknya cakra dan bunga-bunga. Menari dan berkelebat dalam aneka warna. Lalu 10 penari Gambuh muncul di atas panggung. Mereka yang terbagi dalam dua kelompok menampilkan kontras dalam kostum yang berbeda. Satu sisi dengan dominasi hijau dan merah muda di sisi lainnya.
Itulah awal pentas drama tari bertajuk “Sunya Nirvana” di ajang Ubud Writers & Reader Festival, Rabu (6/10) malam di Pura Dalem Ubud. Karya yang dikoreografi oleh Cok Savitri yang diilhami oleh kitab Sutasoma karya Mpu Tantular itu dipersembahkan untuk sesi acara “Tribute for Gus Dur”.
Baca Juga:
Cok menyebut, situasi yang melahirkan Sutasoma ditandai oleh persaingan antara sekte pemuja siva dan pemuja budha. Meski telah diredam di masa kerajaan Singosari dengan penyatuan paham Siva Budah, senyatanya di masa Majapahit persaingan itu terjadi. Bahkan di masa Gajah Mada, ada upaya untuk menyatukan keragaman melalui kekuasaan.
Sepanjang jaman, pola-pola semacam itu terus berlangsung. Bahkan di dunia kesenian pun, menurut dia, dilkakukan upaya agar terjadi dominasi aliran tertentu. Maka itu dalam penampilannya, Cok memilih tari Gambuh tapi dari warisan budaya Budakeling di Karangasem. Dalam konteks seni Bali modern, warisan ini sering dianggap sebagai pola yang dipinggirkan dan dicoba untuk dilupakan.
Pola gerakannya sangat berbeda dengan gaya yang dominant dalam khasanah tari Bali. Sebab, pola gerak cenderung sederhana dan terpatah-patah, ritmenya kontemplatif dengan iringan musik gamelan yang minimalis karena hanya merupakan perpaduan 2-3 instrumen. “Gerakan tangannya pun cenderung menyiku yang pasti akan disalahkan oleh guru tari di Bali selatan,” kata Cok.
Adapun tema “Sunya Nirvana” sejatinya adalah perpaduan antara dua ajaran tertinggi di aliran Siva dan Budha. Keduanya menggambarkan kekosongan diri sebagai inti pencarian makna kehidupan. Dari kekosongan itu maka keberagaman individual dan kelompok dianggap sebagai proses untuk mencapai tujuan yang sama.
Lalu apa kaitannya dengan Gus Dur? Koordinator Program Wayan Juniartha menyebut, Gus Dur adalah simbol pencarian harmoni dalam keberagaman. Di masa Gus Dur, terobosan untuk mencairkan dominasi di ranah politik dan kebudayaan benar-benar terjadi. “Kami merasa warusa Gus Dur itu harus terus digemakan kembali,” ujarnya. Apalagi di tengah situasi dimana upaya untuk mengklaim kebenaran dilakukan secara terbuka bahkan dengan jalan kekerasan.
ROFIQI HASAN