Mengalunlah lagu gaya Jawa di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rabu malam lalu. Inilah The 5 Lovers of Drupadi karya Ananda Sukarlan. Gitarnya seolah menjelma gamelan yang dipetik dengan cepat. Tapi laki-laki itu bukan orang kita. Dia Miguel Trapaga, 43 tahun, gitaris klasik asal Spanyol yang sedang tur keliling Asia. Yayasan Musik Sastra membawanya ke negeri ini untuk tampil dalam Cum Laude Concert Series IV. Sehari sebelumnya, ia tampil di Bandung.
Miguel seperti tak kesulitan memainkan Drupadi--tentu karena dia maestro gitar klasik. Justru karena dialah, Ananda Sukarlan terinspirasi menciptakan lagu tersebut. Sekitar 80 penonton pun diam mendengar permainannya. Suara dari lingkaran resonansi bermerek John Gilbert itu begitu jernih, hasil perkawinan jari kiri dan kanannya. Kecepatannya pun tertata, dengan tekanan ketukan yang pas. Begitu hangat. Jelas ia tahu bagaimana memanjakan kuping penonton.
Ia membuka pertunjukan dengan Variaciones sobre "Malboroug" op. 28 karya Josep Ferran Sorts I Muntades alias Fernando Sor. Permainannya sangat tenang. Nada bas yang menjadi melodi di awal dimainkan sangat pelan. Bahkan dalam kepelanan itu, gaung melodinya tetap sampai ke telinga pendengarnya. Pun permainan rhythm-nya tetap lembut dan jelas.
Miguel juga mampu menjaga suasana mayor dan minor yang begitu cepat berganti. Perpindahan jarinya yang menjelajahi fret gitar begitu smooth. Permainan harmoninya pun sangat nyaring. Tremolo (petikan sangat cepat dari tiga jari kanan) dihadirkannya dengan anggun dan tak menghilangkan jejak melodi yang juga dipetik cepat oleh jempolnya. Sungguh awal yang memanaskan penonton sanggup diciptakannya.
Pada komposisi berikutnya, Viento de Primavera, permainan Miguel tak kalah menarik. Bagian entre la brisa dibukanya dengan petikan yang sangat cepat, melodi dua nada melesat dari fret rendah langsung ke tinggi. Lalu dengan tenang ia berhenti dan membuka lembaran partitur untuk masuk ke bagian luz de tarde. Di bagian ini, Miguel banyak mengalirkan nada-nada miring yang berlanjut ke bagian berikutnya, Danza. Lagi, permainan tremolo, masih dengan kemiringan, ditunjukkannya dan menjadi penutup yang mengundang aplaus penonton.
Suguhan rasgueado (rhythm dengan satu jari atau lebih) beberapa kali diberikan Miguel dengan apik pada Preludio y Danza. Ia menyelinginya dengan permainan bas yang nyaring dan kadang keras. Dalam permainan rasgueado, Miguel masih mampu menunjukkan melodi di tengah kocokannya. Terakhir, rasgueado dimainkan dengan staccato yang menawan.
Permainan Miguel nan bersih juga ditunjukkannya saat membawakan karya Francisco Tarrega, Dos Preludios Caprico Arab. Dari gitarnya, mengalun suasana sedih. Dengan memejamkan mata, kita makin bisa masuk ke dalam lagu dan merasakan denting duka yang dituangkan melalui kegesitan jemarinya.
Begitu juga saat ia membawakan Guajira (Emilio Pujol), Fandango Variado op. 16 (Dionisio Aguado), dan Pavana-Capricho Sevilla (Isaac Albeniz), permainan Miguel tetap jernih dan mampu membawa penonton masuk dalam lagu yang kaya akan harmoni.
Sambutan penonton terhadap Miguel begitu besar. Tepuk tangan dan sorak menemani akhir pertunjukan gitaris dengan rambut tipis botak itu. Sampai-sampai, Miguel kembali ke panggung dan membawakan lagu tambahan, Miguel Llobet. Setelah itu, penonton masih merasa tak cukup dan enggan meninggalkan ruangan. Sambutan hangat membawa Miguel ke panggung lagi dan memainkan Popular Catalunia Song, lagu singkat yang tetap memikat para penonton.
Penutup yang sangat manis. Malam itu, Miguel menunjukkan kepada penonton kenikmatan memainkan gitar. Sayang memang, kenikmatan itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mengisi tempat yang tak penuh. Sama seperti berbagai pertunjukan lain dari alat musik gitar klasik.
PRAMONO