“Tahun lalu, untuk sehari Mr. Big saja bisa 30 ribu orang yang datang. Apalagi ini tahun kedua, orang sudah kenal Rockinland,” ujar Peter kepada Tempo di rumahnya di bilangan Permata Hijau, Jakarta, kemarin siang.
Namun, hingga kini Peter belum bisa memastikan seratus persen tiket terjual. “Datanya masih berjalan, dan belum fix,” katanya. Java Rockinland sendiri akan diselenggarakan di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, pada 8-10 Oktober mendatang.
Meski festival sebelumnya sukses dengan ribuan penonton, Peter mengaku tak mendapatkan pundi dari hasil penjualan tiket. “Sebenarnya, tiket itu tak seberapa besar balik modalnya,” katanya. Karena itulah, dengan semangat ia akan menjajakan rekaman CD pertunjukan konser. “Inilah jalur jangka panjang yang lebih menggiurkan,” ujarnya.
Nilai untuk satu buah hak cipta sekeping CD itu sekitar Rp 5 miliar. Usaha lanjutan yang telah digagas pada Java Jazz Festival juga diterapkan di Java Rockinland 2009 lalu. “Saya membuat CD Mr.Big live in concert dan kemudian menjualnya,” katanya.
Langkah Peter itu sebetulnya bukan hal baru dalam industri pertunjukan. Tapi, di Indonesia memang belum banyak pelaku bisnis di jalur ini yang giat melakukannya. Dan melalui jalur ini pula, Peter mencoba mempromosikan Indonesia di dunia internasional. “Sekarang, orang-orang bule sudah tahu Java Jazz Festival, dan kini mereka mulai mengenali Rockinland dan Soulnation,” katanya.
Menurut Peter, musisi asing umumnya bangga bisa main di Indonesia, dan mereka akan membicarakan itu pada sejawatnya. “Musisi tersebut bisa jadi penyambung lidah Indonesia, gratisan pula,” ujarnya.
Peter mencontohkan, grup vokal Manhattan Transfer yang awalnya tak mungkin ke Indonesia. “Alasan mereka, karena mereka orang Yahudi, jadi takut,” katanya. Toh, nyatanya grup musik ini sudah tampil dua kali dalam Java Jazz.
Adapun pada musisi luar yang takut dengan teror bom, Peter hanya menjawab, “Jangankan di Indonesia, di London saja ada bom,” ujarnya santai.
AGUSLIA HIDAYAH