TEMPO Interaktif, Jakarta - Barangkali inilah salah satu pembukaan pameran seni rupa paling ramai pengunjung dan paling menghibur. Halaman gedung Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta, penuh sesak oleh manusia pada Selasa (28/9) senja itu. Semuanya ingin menghadiri dua acara penting: pembukaan pameran Putu Sutawijaya bertajuk Gesticulation dan peluncuran buku Ceritalah Indonesia karya kolumnis Malaysia, Karim Raslan, yang disunting Lynda Christanty.
Yang bikin meriah acara adalah kehadiran Trio Kirik, yang terdiri dari Yuswantoro Adi, Samuel Indratma, dan Bambang Herras. Mereka adalah perupa Yogyakarta yang sering nyambi jadi pembawa acara, khususnya pembukaan pameran seni rupa. Lelucon-lelucon yang mereka lontarkan menghangatkan suasana malam itu. Puncaknya adalah penampilan si raja monolog Butet Kertaradjasa, yang membacakan kolom "Gus Dur Malaysia" karya Karim dan lalu membuka pameran secara resmi dengan meniru suara khas mantan Presiden Soeharto.
Namun, kemeriahan itu mendadak berubah jadi serius ketika para pengunjung memasuki ruang pameran. Di hadapan mereka terbentang 15 patung berupa figur manusia dari potongan besi yang dijahit dengan kawat-kawat kecil. Patung-patung itu tampil dalam berbagai pose. Ada yang sedang meloncat dengan tangan melambai, seperti pada Gesticulation #3. Ada yang berakrobat dengan bertumpu pada dua tangan dan kaki melayang di udara, seperti pada Gesticulation #5. Patung-patung itu juga seperti bermain-main dengan kawat pada Gesticulation #2 atau menerjang dengan dada terbentang pada Gesticulation #4.
Ada pula patung yang berpasangan. Gesticulation #14 menggambarkan dua patung yang seakan terjerat di tengah kerumitan kawat. Adapun Gesticulation #15 menggambarkan dua figur manusia yang sedang mengurai gulungan kawat yang kusut.
Tepat di tengah ruangan tegak sebongkah besar kawat berbentuk umbi yang tergantung di langit-langit hingga menyentuh lantai. Di bongkahan itu terdapat pula figur-figur manusia kecil yang seakan sedang memanjat atau turun di antara sela-sela kawat.
Setahun belakangan ini Putu Sutawijaya memang sedang asyik mengolah besi bekas untuk karyanya. Perupa kelahiran Tabanan, Bali, pada 27 November 1971 itu rajin mengunjungi pusat-pusat pemulung di Bantul, Yogyakarta, yang tak jauh dari tempat tinggalnya. "Saya sering ke tempat-tempat rongsokan. Dari sana saya temukan sesuatu, yang membuat saya memikirkan apa yang akan saya sampaikan," kata pemenang Lukisan Terbaik Philip Morris Art Award 1999 itu.
Besi-besi bekas itu perlahan dia kumpulkan dan kemudian satu per satu dibentuk menjadi patung yang kini dipamerkan. Gagasan bentuk patung lahir saat dia berinteraksi dengan bahannya. "Keintiman itu kadang-kadang memunculkan gagasan, karena sudah sering merasakan. Barang ini, misalnya, akan membuat saya melahirkan ide tentang apa. Tentu tak semua langsung jadi, karena kadang barangnya tak ada," kata perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
Besi-besi itulah yang kemudian dia olah dan las untuk menghasilkan berbagai jenis patung. Patung-patung itu tampil berbagai gestur tubuh yang menjadi salah satu komponen ekspresif utama Putu. Sedari awal berkeseniannya Putu sudah terobsesi pada tubuh sebagai tanda, yang semula dituangkannya dalam berbagai lukisan dan belakangan lahir dalam berbagai bentuk karya tiga dimensi dari besi dan resin.
Patung-patung Putu kali ini, kata Kris Budiman, kurator pameran ini, masih bertahan dengan representasi tubuh dan gestikulasi, tapi menawarkan konteks yang berbeda-beda. "Patung-patung besi Putu ini lebih beragam dalam gestur," katanya.
Gestur-gestur itu juga seakan berbicara, mencoba mengartikulasikan suatu pesan, yang mungkin ditangkap berbeda-beda oleh penikmatnya. Bagi Karim Raslan, yang turut memberi catatan untuk pameran ini, karya Putu mencuatkan ketegangan antara ekspresi individual dan identitas komunal yang kuat.
Karyanya menjadi sebentuk medan yang menegang, saling tarik menarik. Di situ kita menemukan posisi figur yang ambigu, yang ragu, dalam bergerak. Kita tak bisa pasti apakah figur itu sedang naik atau turun, sedang meloncat maju atau mundur ke belakang. Inilah penjelajahan lain Putu di ranah gestur tubuh, yang tampaknya belum selesai, seperti juga karir berkeseniannya yang terus menggelinding.
Kurniawan