Kali ini, dalam Festival Salihara Ketiga, Fitri akan mementaskan karya terbarunya, Selamat Datang dari Bawah, di Galeri Salihara, 1-2 Oktober nanti. Koreografer tari kelahiran Solo, 26 Agustus 1978, itu menggali kosagerak justru lewat kerja sama dengan bukan penari. "Saya tidak selalu melibatkan penari profesional dalam setiap karya saya," ujarnya. Dia lebih banyak bekerja sama dengan seniman dari berbagai disiplin, seperti pemain teater, grafis, atau siapa saja. Tapi dari situlah Fitri selalu menemukan kosagerak yang berbeda. Ada pertemuan tubuh-tubuh yang tak biasa. Bahkan tak jarang koreografer asal Solo ini memutilasi gerak tubuh, yang kemudian ia susun kembali menjadi satu rangkaian karya.
Tentu transfer ide tak semudah jika berhadapan dengan penari profesional. Fitri tetap memilih jalan ini karena ia bukan koreografer yang menghamba pada hasil instan. Bekerja dengan penari profesional sering kali terbentur dengan pembacaan gerak tubuh yang selalu berkutat dengan sejarah tubuh penari pada umumnya. Koreografer lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta itu tampaknya ingin keluar dari semua aura tari yang sepertinya telah menjadi konvensi sebagian besar penari dan koreografer Indonesia pada umumnya.
Baca Juga:
Dalam proses penciptaan karya, makna tari tak menjadi prioritas utama. "Makna bagi saya seperti tujuan. Dan saya jarang memasukkan itu dalam wilayah karya saya. Karena yang saya ambil kebanyakan sesuatu yang dekat dengan keseharian," katanya.
Tak jarang simbol-simbol yang bermunculan pada karyanya sulit diberi makna oleh penontonnya. Memang, hal ini akan membuka ruang imaji seluas-luasnya. Makna tak lagi dibagi-bagi agar terbentuk persepsi kolektif, tapi dibiarkan saja tumbuh dalam ruang personal.
Justru yang menjadi prioritas dalam tiap karyanya adalah keartistikan pemanggungan. Properti ataupun musik pengiring adalah penolong bagi tubuh untuk lebih dekat dengan keseharian. Maka tak mengherankan jika Fitri selalu habis-habisan mengolah satu konsep pemanggungan untuk menampilkan pendekatan baru terhadap relasi antara tubuh dan tari.
Meskipun ia berangkat dari seni tari tradisi, seluruh karya yang telah diciptakannya tak menyentuh wilayah itu. Fitri menyadari konsep tari tradisi selalu berpijak pada teknik. "Orang dikatakan hebat menari kalau menguasai teknik sulit sedemikian rupa. Kalau seperti ini, saya merasa tari menjadi jauh dari manusia," katanya. Dari situlah, Fitri dengan kemampuan teknik yang pernah ia pelajari membuat pendekatan yang segar.
Menurut Fitri, banyak koreografi di Indonesia yang bervariasi, baik dari segi konsep maupun properti yang digunakan. Tapi efek pertunjukan yang sampai kepada penonton seolah menciptakan sublimitas dan aura yang sama.
Untuk mencapai proses kreatif itu, tak jarang ia hanya melakukan aktivitas sehari-hari sebagai proses latihannya, seperti memasak atau hanya melihat dan sekadar merasakan aktivitas bersama para penari. Begitulah ia mencipta karya S(h)elf pada Mei lalu.
Dalam pementasan Selamat Datang dari Bawah, di Galeri Salihara nanti, Fitri menyajikan karya yang terdiri atas tiga bagian, yaitu Lubang Cahaya Bernapas, Penyusup dalam Tubuh, dan Dataran yang Terus ke Dasar. Karyanya ini meramu berbagai unsur, yakni kisah Franz Schubert, komponis Australia, yang melatih jari-jari tangannya dengan batu; pandangan Zen di sekitar pikiran yang terjebak dalam balok es; serta instalasi Bodyscape karya Titarubi. Dia ingin memperlihatkan bagaimana merawat hubungan mistik antara tubuh dan dataran.
Ismi Wahid