TEMPO Interaktif, Surakarta - A-Hachijo, demikian nama alat musik itu. Bentuknya mirip bedug, namun ukurannya lebih kecil. Ditilik dari namanya, jelas alat musik tersebut berasal dari Jepang. Meski berukuran kecil, suara Kendang Jepang tersebut cukup kencang saat bersentuhan dengan tongkat kayu yang dipukulkan oleh penabuh hachijo.
Kesenian kendang Hachijo tersebut dibawakan oleh sekolompok seniman Hachijo-Daiko Magomekai asal Jepang. Mereka membawakan kesenian tersebut dalam acara Bukan Musik Biasa yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta, Selasa malam (28/09).
Cara mereka memainkan Kendang Jepang tersebut cukup khas. Gerakan menabuh dengan tongkat kayu itu ditata sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gerakan yang cukup indah seperti tarian. Saat mereka menabuh dalam irama lambat, gerakan yang dilakukan terlihat bagaikan slow motion, gerak lambat dalam rekaman kamera.
Meski ditabuh oleh dua orang, masing-masing menghasilkan irama yang berbeda. Satu penabuh membuat irama yang cenderung statis, guna mengatur irama permainan. Sementara penabuh yang lain berusaha berimprovisasi dan berusaha membuat isi bagi irama yang diciptakan oleh pemain pertama.
Dalam pementasan berdurasi satu jam tersebut, para pemain tidak sekadar menabuh sebuah Kendang Jepang. Sembari menabuh, mereka juga melantunkan syair-syair kuno dari Jepang yang selaras dengan irama kendang. Nuansa Negeri Matahari Terbit itu semakin kental dengan pakaian kimono yang dikenakan oleh para penyaji.
Cara mereka menghasilkan keselarasan dalam menabuh kendang itu ternyata cukup sulit dilakukan. Hal itu terbukti saat Hachijo-Daiko Magomekai memberikan kesempatan kepada sejumlah penonton untuk menggantikan peran penabuh kedua. Mereka diminta untuk berimprovisasi dan berusaha menyelaraskan tabuhan dengan pemain pertama.
“Sahur...sahur..!,” teriak penonton semabari menertawakan rekan-rekannya yang memberanikan diri untuk menerima tantangan. Nampaknya, irama yang mereka hasilkan mengingatkan penonton atas tradisi keliling kampung dengan membawa bedug, dalam membangunkan warga pada waktu sahur.
Memainkan Hachijo memang cukup sulit. Hal itu menjadi salah satu penyebab mengapa kesenian tersebut sempat nyaris punah. “Kesenian ini sudah tidak banyak dijumpai di Negeri Jepang,” kata pendiri Hachijo-Daiko Magomekai, Shido Mizuno. Kesenian berusia 200 tahun tersebut kembali bangkit sekitar tahun 1982, saat beberapa seniman mencoba melahirkan kembali kesenian rakyat tersebut. Bahkan, kesenian rakyat tersebut akhirnya bisa masuk ke kuil untuk musik upacara keagamaan.
Bagi kelompok Hachijo-Daiko Magomekai, pementasan di Indonesia merupakan pertama kalinya mereka tampil di luar Jepang. Namun di Jepang, kelompok tersebut telah berulangkali melakukan kolaborasi dengan sanggar tari tradisional Indonesia yang berdiri di Jepang, Dewandaru Dance Company. “Dalam pementasan ini, sengaja kami tidak berkolaborasi,” kata Riyanto, pimpinan Deandaru Dance Company. Sebab, acara pada malam itu murni kegiatan seni musik.
Ahmad Rafiq