“Orang memang selalu mengatakan lukisan saya bergaya naif, seperti lukisan anak-anak. Saya sendiri tak pernah menyebutnya naif. Setiap pelukis punya ekspresi sendiri,” kata Yunizar kepada Tempo, Minggu (26/9).
Cara Yunizar melukis bunga memang unik. Ia selalu menempatkan vas dengan berbagai varian bentuk pada bagian bawah kanvas. Dari “mulut” vas itulah Yunizar kemudian melukis tangkai yang bercabang-cabang dengan kelopak bunga di ujungnya. Tak pernah ada daun.
Perupa kelahiran Talawi, Sumatera Barat ini juga tidak pernah memperhitungkan proporsi lukisan bunganya. Tangkai bunga selalu dilukis dalam proporsi besar dibanding kelopak bunga di ujungnya. Belum lagi proporsi antara pot dengan bunganya.
Yunizar juga tidak memerlukan detil. Ia cukup melukis tangkai dan bunganya dalam satu warna. Kadang dengan warna perak, merah atau kuning dengan latar belakang yang juga warna tunggal: hitam, merah atau abu-abu. Lukisan bunga itu kemudian dibingkai dengan ornamen dekoratif. Sekilas, tampilan lukisan bunga karya Yunizar ini seperti taplak meja dengan renda-renda di pinggirannya.
Seperti sejumlah perupa tenar dunia, Yunizar juga hendak menyampaikan keindahan melalui lukisan bunganya. Namun, Yunizar melakukannya dengan caranya sendiri. “Arti bunga itu universal : indah, bagus. Saya juga ingin melakukannya, dengan cara saya. Inilah eskpresi estetik saya yang kebetulan berbeda dengan seniman lain,” kata alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1999 ini.
Bunga sebagai obyek lukisan sebenarnya bukan hal baru bagi Yunizar. Pada karya-karyanya terdahulu, obyek bunga selalu muncul, meski ukurannya kecil. Kali ini, Yunizar seperti menghadirkan pembesaran (zoom in) bunga-bunga pada karya sebelumnya dan kemudian menjadi materi pameran yang berdiri sendiri.
Meski kali ini bunga menjadi materi yang berdiri sendiri, Yunizar tetap saja tidak hendak menyampaikan pesan apapun, selain keindahan bunga itu dengan caranya sendiri. Termasuk juga ketika ia menorehkan gambar tengkorak pada vas berupa botol dalam karyanya yang berjudul “Vas Hitam”.
“Saya hanya ingin menunjukkan bahwa vas bunga itu bisa apa saja, termasuk dari botol yang bergambar tengkorak. Kalau kemudian orang menangkap kesan adanya kematian atau racun, silakan saja,” katanya.
Soal keindahan memang relatif. Kalaupun orang lain tidak menangkap keindahan dari bunga-bunga yang dilukisnya, Yunizar tidak perlu merisaukannya. “Ini persoalan daya estetis, kepuasan saya seperti itu. Kalau bunga-bunga itu saya lukis secara realis, kepuasan saya sebagai seniman tidak ada lagi,” katanya.
Sikap Yunizar inilah yang kemudian oleh kurator Aminudin TH Siregar disebut sebagai “mimpi buruk bagi para penganut realisme yang fanatik”. Menurut Aminudin, Yunizar adalah penantang terhadap segala hal yang bersifat akurat, segala bentuk yang terukur, segala wujud yang menyerupai kenyataan dan citraan fotografis, segala citraan yang dirancang dengan sengaja di atas kanvas, segala hal yang rasional dan segala penciptaan seni yang betujuan politis.
“Itulah sebabnya mengapa sosok Yunizar terbilang unik di medan sosial seni rupa Indonesia. Ketika seni rupa Indonesia penuh sesak dengan teknik lukis realis hingga kecenderungan realisme fotografis, Yunizar tetap bertahan di jalur estetiknya sendiri. Dia seolah tidak menghiraukan perubahan tren estetik yang sedang terjadi di sekitarnya,” tulis Ucok, panggilan akrab Aminudin TH Siregar, dalam katalog pameran.
Heru CN