Kelima media lokal itu berada di Batak, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. "Mungkin bulan depan kami akan bertemu dengan pengelola media-media tersebut untuk mencari formulasi agar mereka tetap hidup di tengah persaingan media modern di era sekarang ini," kata Soeprawoto seusai membuka diskusi bertema "Media Berbahasa Daerah Menghadapi Era Global" di Hotel JW Marriot Surabaya, Sabtu (25/9).
Menurut Soeprawoto, jumlah penerbitan berbahasa daerah makin menyusut karena kalah bersaing dan putusnya regenerasi pembaca tradisional mereka. Di Bandung tinggal satu media berbahasa Sunda yang masih eksis, yakni Mangle. Adapun di Yogyakarta ada majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang, serta Panjebar Semangat dan Jaya Baya di Surabaya. Tiga majalah berbahasa Jawa lainnya, yakni Mekarsari di Semarang, Jawa Anyar di Solo dan Damarjati di Jakarta telah gulung tikar.
Soeprawoto menambahkan, pada era orde baru media-media berbahasa daerah itu pernah mendapat subsidi dari pemerintah lewat suplemen bernama Koran Membangun Desa. Konsep yang sama, kata dia, pernah akan dipakai setelah era reformasi. "Tapi batal karena kami dicurigai akan mengkooptasi pers seperti dulu," ujar Suprawoto.
Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat Moechtar mengatakan, pembaca media berbahasa Jawa makin sedikit karena anak-anak muda sekarang kurang menyukai bacaan berbahasa daerah. Ketidaksukaan itu, menurut Moechtar, disebabkan sejak di bangku sekolah tidak ditanamkan jiwa mencintai bahasa daerahnya. "Akibatnya, mereka kesulitan membaca bahasa Jawa," tutur Moechtar, kini 85 tahun.
Untuk menumbuhkan minat membaca terhadap media berbahasa lokal, Moechtar mengusulkan agar mata pelajaran bahasa daerah dijadikan materi wajib untuk menentukan kelulusan seorang siswa. Sebab, saat ini pelajaran bahasa daerah cenderung dimarjinalkan sehingga siswa malas untuk mempelajari. "Anak-anak lebih menyukai belajar bahasa Inggris atau Mandarin, karena bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya tidak bisa dipakai untuk mencari pekerjaan," papar Moechtar. KUKUH S WIBOWO.