Para penari itu tak berdendang riang, tetapi justru bergerak pelan. Walaupun ritmik musik perkusinya sangat padat, tak juga menggoda penari-penari itu menggerakkan kaki dengan lincah.
Itulah Akkarena Sombali, sebuah tari kontemporer yang berangkat dari tradisi Makassar, Sulawesi Selatan. Tarian ini diciptakan oleh koreografer Wiwiek Sipala dan menjadi sajian pertunjukan dalam pembukaan Festival Salihara Ketiga di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis malam lalu.
Sebuah paradoks. Begitulah Wiwiek menyajikan tarian yang ditafsir ulang dari Pakarena, tari ritual masyarakat Makassar sebagai rasa syukur kepada dewa. Musik yang sangat ritmis tak selalu linier dengan gerakan yang riang. Justru gerakan penari-penari itu diciptakan lebih kontemplatif. Secara visual, terkesan mencekam namun terbentur oleh musik yang sangat padat. "Bertolak belakang memang. Tetapi disitulah kekuatan Pakarena. Dibutuhkan satu pengendalian diri terutama bagi penarinya," ujar Wiwiek.
Pakarena biasanya diselenggarakan 3 sampai 7 hari, yang dimulai dari sore hingga menjelang fajar. Tapi, Wiwiek memadatkannya menjadi sekitar 28 menit saja. Tentu, riset yang panjang terhadap tari ini telah ia lakukan sejak 1978. "Garapan sekarang lebih fokus menafsirkan Pakarena sebagai tarian ritual yang lebih menggambarkan syukur, doa, dan keikhlasan," kata Wiwiek. Boleh dibilang, Akkarena Sombali adalah pembacaan ulang Wiwiek terhadap mantra dan syair dari tarian aslinya.
Pakarena terdiri atas 12 babak. Tetapi dalam tafsir ulang ini, Wiwiek hanya memasukkan 9 babak. Selebihnya belum ia jamah dan dirasa belum perlu untuk garapan ini. Konsep geraknya sangat sederhana, tetapi justru membutuhkan penjiwaan yang matang untuk melafalkan gerakan-gerakan itu. Wiwiek selalu memaknai setiap gerakan yang ia buat. Misalnya, sikap tubuh penari yang condong ke depan dan kemudian menarik diri menjadi tegap lagi, di situ Wiwiek sedang berbicara tentang kehidupan manusia. "Tetapi bisa saja ditafsirkan lain. Karya ini sangat multitafsir," ujarnya.
Wiwiek mengambil pola gerak memutar searah jarum jam dengan satu penari yang membawa api menjadi pusat di antaranya. Wiwiek ingin menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Wiwiek juga menafsir ulang musik yang dipakai. Dulu, mereka memakai dulang, yaitu piringan logam yang fungsinya mirip dengan kentongan. "Saya mencari warna musik yang sama, karena alat ini sekarang sudah tidak ada," katanya. Musik pengiring lebih bersifat perkusif. Hanya terompet kecil yang sesekali mengisi kalimat-kalimat melodisnya.
Kostum penari juga sederhana. Tak banyak asesoris yang dipakai. "Harapan saya agar yang muncul adalah kedalaman penjiwaan," ujarnya.
ISMI WAHID, NUNUY NURHAYATI, AGUSLIA HIDAYAH