Eksplorasi Wiwiek dimulai pada 1978, saat ia menjadikan Pakarena yang sakral itu sebagai bahan tesis kuliahnya. Setahun berselang, ia membawa karya hasil eksperimennya, Akkarena, yang terinspirasi oleh Pakarena, ke tengah masyarakat Makassar. “Saat itu, saya seperti masuk ke mulut harimau,” ujar Wiwiek ketika ditemui di Teater Salihara, Jakarta Selatan, kemarin siang. Pada 2002, karya tersebut dipentaskan di Institut Kesenian Jakarta.
Langkah Wiwiek tak berhenti di situ. Ia terus mengembara, menjelajahi tarian tradisional, terutama yang berasal dari Sulawesi Selatan. Hingga akhirnya, langkahnya membawanya pada karya teranyarnya, Akkarena Sombali--yang akan dipentaskan pada pembukaan Festival Salihara malam ini.
Menurut Wiwiek, secara harfiah akkarena berarti bermain, dan sombali dimaknai sebagai pengembaraan. “Jadi karya ini merupakan hasil pengembaraan saya, tak hanya dari ide dan materi, tapi juga secara geografis, yang beken disebut merantau,” katanya.
Wiwiek mengaku karya ini berbeda. Lewat Akkarena Sombali, Wiwiek mengembalikan makna tari Pakarena sebagai tari ritual yang religius. “Tari ini sebagai dialog saya kepada Tuhan, sebagai sebuah mantra yang mengumandangkan rasa syukur, harapan, doa, dan kerinduan,” ujar dosen tari Institut Kesenian Jakarta ini.
Akkarena Sombali dimainkan sepuluh penari perempuan lengkap dengan tim pemusiknya. Formasi yang seharusnya dibawakan berpasangan diubah menjadi single. Untuk kostumnya, Wiwiek mencoba keluar dari simbol glamor dengan menanggalkan aksesori kembang emas di kepala. “Tujuannya, ingin lebih memunculkan aura penari itu sendiri,” katanya.
Warna kostumnya pun tak ada yang dominan, dengan pemilihan warna yang lembut. “Biasanya warna baju penari menandakan keningratan penyelenggara, seperti warna merah untuk bangsawan,” tutur Wiwiek. “Justru unsur kasta ini yang ingin saya leburkan.”
Adapun durasi tarian, yang biasanya berlangsung selama tiga hari hingga sepekan dipadatkan hanya menjadi 28 menit. “Dari 12 babak asli tari ini, saya hanya mengadopsi sembilan bagian,” katanya. Tiga babak lainnya, yakni Di Gandang, Anni-anni, dan Sanro Beja, tak dibawakan. Sebab, menurut Wiwiek, ia belum mempelajari tiga babak itu secara mendalam.
Tapi, untuk unsur musik, Wiwiek masih berpegang pada tetabuhan dari konsep leluhur, seperti bunyi-bunyian dari dulang, alat pukul berbahan metal yang bunyinya ritmis.
AGUSLIA HIDAYAH