Lalu, ia bangkit kembali. Belitan itu tak mengendur. Tangannya terangkat ke atas sejenak. Lalu, ia pun rebah. Para pembelit kain meninggalkannya. Panggung itu pun sepi dan gelap. Meninggalkan laki-laki yang terbujur kaku tersebut. Mati.
Penonton bertepuk tangan. Itulah bagian akhir tari balet berjudul Serdtse atau The Heart. Karya ini menjadi bagian dari pertunjukan yang menghadirkan dua karya maestro balet Indonesia, Farida Oetoyo, di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Satu karya lagi yang dipentaskan lebih dulu berjudul Survival.
Baca Juga:
Pentas balet itu sekaligus menjadi pembuka rangkaian Festival Schouwburg dalam rangka memperingati ulang tahun Gedung Kesenian ke-23. Dua tari itu pernah dimainkan sebelumnya di tempat yang sama. Serdtse dimainkan pada 2006, dan Survival menyusul setahun kemudian.
Serdtse bercerita tentang denyut kehidupan yang penuh ketenangan, energi, permasalahan, dan akhirnya denyut yang hilang. Ya, Serdtse menceritakan siklus hidup manusia. Awalnya, tari kontemporer ini dibuka dengan kain merah dengan panjang lebih dari 10 meter dan lebar sekitar 1 meter. Bagai perban, kain itu membelit tubuh lima orang bertopeng yang satu sama lain tak berdekatan. Denting piano satu nada menjadi kode mereka berkumpul, lalu berputar-putar saling menjauhi. Lalu, kain merah menutupi tubuh mereka yang tertelungkup di lantai.
Di bawah kain itu mereka menari, membuat gerakan mengombak. Setelah satu laki-laki dan perempuan masuk panggung, kain tersibak. Inilah kelahiran baru mereka: lima perempuan tanpa topeng. Kita juga bisa melihat adegan percintaan laki-laki dengan perempuan yang saling bergelendotan atau bersandar. Juga laki-laki yang mengangkat raga perempuan, lalu memutarnya.
Semua dikemas dalam gerakan yang cukup lincah dan serentak. Sepuluh balerina dan balerino yang bertelanjang kaki kadang berputar berkali-kali, menendang kaki ke belakang atau ke samping dan menahannya. Atau, saat berbaring, lutut terangkat dan telapak kaki bergerak sangat cepat. Begitu energetik. Tapi gerakan para penari terkadang pelan dan anggun, merefleksikan gerak hidup manusia yang acap terasa melamban.
Serdtse diakui Farida sebagai refleksi kehidupannya. Ia pernah menderita sakit pada pembuluh darah nadinya. Saat itu Farida seperti mau menyerah pada nasib. "Tapi saya bangkit karena masih ingin membuat koreografi baru," katanya. Maka Farida juga membuat latar belakang panggung bergambar pembuluh nadi dalam warna merah.
Farida mengaku lebih suka membuat karya balet kontemporer, meski beasiswa dari pemerintah Rusia yang diterimanya saat usia 14 tahun mengharuskan ia belajar balet klasik di Akademi Balet Bolshoi. Di sini ia memperoleh predikat cum laude dan menyandang gelar artist of ballerina. Selain itu, Farida pernah memperdalam balet modern di Amerika yang memungkinkannya memadukan gerakan balet klasik.
Tarian ini sangat didukung oleh komposisi musik karya putra Farida, Aksan Sjuman. Dengan dentingan piano Mery Kasiman, petikan bas Indra Lie Perkasa, gesekan cello Rahman Noor, serta alunan woodwind Juhad A. (oboe), Henry (basson), dan Eugene Bounty (klarinet), musik terasa menyatu dengan tarian. Kadang para musisi bermain dengan lengkap dan kuat, tapi tak berlebihan. Kadang pula hanya memberi nada sederhana atau diam sesaat dan memainkan stakato. Begitu hidup dan memberikan warna pada tarian.
Berbeda dengan Serdtse, yang tematis dan kontemporer, Survival, yang dimainkan lebih dulu, berwarna neoklasik. Tapi Survival tak semenggigit Serdtse. Bahkan cenderung datar dan membosankan. Padahal Survival dimainkan oleh lebih dari 20 penari. Tarian ini lebih bersifat ramai ketimbang meriah.
Yang paling fatal, satu dari lima balerina menjatuhkan sapu tangan putih di kanan panggung. Akhirnya, balerina itu hanya mengayunkan tangan saat teman-temannya mengayunkan sapu tangan. "Itu ketidaksengajaan," kata Farida, membela murid-muridnya yang telah berlatih tiga bulan itu.
Okelah, kesalahan adalah hal yang biasa. Tapi mungkin karena terlalu ramai, mereka sangat kesulitan menjaga kepaduan gerak. Kadang gerakan para balerina terasa kaku. Sejumlah balerino juga terlihat kesulitan menjaga keseimbangan saat berdiri dengan satu kaki dan canggung dalam gerakan mengangkat tubuh balerina. Kadang terlihat gerakan yang tak sesuai dengan ketukan musik. Selain itu, kadang musik terasa terlalu kuat dan menjadi bagian yang berdiri sendiri dalam pertunjukan.
Pertunjukan menarik justru diperlihatkan tiga balerina belia yang menggunakan point shoes. Selama tampil, tiga balerina ini hampir selalu berjingkat, termasuk saat berlari. Meskipun gerakannya tak kompak amat, kehadiran mereka memberi kesegaran dan menghidupkan Survival. Kepakan kain berbentuk sayap kupu-kupu di baju balerina belia ini juga membuat penampilan mereka semakin menggemaskan.
Selain itu, penampilan balerino dan satu balerina dalam kostum ala penari perut Timur Tengah menghangatkan Survival. Dalam irama musik gurun pasir, mereka tampil dalam gerakan cepat. Kadang gerak tubuhnya membentuk kalajengking. Penampilan mereka terlihat kompak dan tak kaku.
Dengan masih ada kekurangan di sana-sini, Farida tetap bersemangat. Ia tak mau menyalahkan para muridnya. Ia justru akan membuat koreografi baru lagi. "Warisan saya hanya koreografi," katanya. Sungguh, Farida telah menjadi salah satu urat nadi dunia balet negeri ini.
Pramono