TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Berbaring di atas selembar tikar, lelaki berjanggut itu tampak memegang kepala dengan kedua tangannya. Ia seperti sedang berjuang keras menahan libidonya. Namun, apa daya, hasratnya tak bisa terlampiaskan karena ranjang satu-satunya di kamar itu sudah disesaki oleh isteri dan keempat anaknya.
Muhamad Yusuf, 35 tahun, mengangkat potret keluarga miskin itu ke dalam karya lukisannya yang bertajuk Kamar 3 X 3. Lukisan ini merupakan satu dari 43 karya Ucup – begitu panggilan akrabnya – yang disuguhkan dalam pameran berjudul Aku dan You di Tembi Contemporary Gallery, Bantul, Yogyakarta, sepanjang 24 Agustus – 14 September mendatang.
Ucup terlihat sangat detil menggambarkan situasi kamar yang dihuni keluarga miskin itu. Selain ranjang yang disesaki ibu dan keempat anaknya, di dalam kamar sempit itu terdapat aneka barang, seperti kurungan ayam, dos mie instan, botol, ember cucian, dan piring berisi obat nyamuk bakar yang menyala. Beberapa helai baju digantung di tiang ranjang.
Berhimpit dengan ranjang terdapat sebuah almari kecil dengan sejumlah benda di atasnya. Ada lampu minyak, radio, teko, kaleng biskuit dan cermin kecil. Lalu, ada foto presiden, gambar Ka’bah serta poster penyanyi dangdut Inul Daratista menempel di dinding, dekat almari kecil itu. Sang ayah yang tak kebagian tempat, harus rela tidur di lantai beralaskan tikar. Dua lembar ramalan judi nomor buntut tergeletak di dekatnya.
“Lukisan itu mengingatkan pengalaman masa kecilku,” kata Ucup, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini. Maka, bukan hal aneh jika Ucup mampu menggambarkan situasi rumah keluarga miskin itu dengan sangat detil, sangat realistik.
Sekitar tahun 80-an, saat Ucup masih duduk di sekolah dasar, ia dan keluarganya selama lima tahun menempati bedeng sempit di pasar Lumajang, Jawa Timur, sebagai rumah tinggalnya. Ia harus berdesak-desakan di bedeng sempit yang dibayar melalui sistem retribusi itu. “Ayahku berdagang rombengan di pasar. Keuntungan dari berjualan rombengan habis untuk judi nomor buntut,” ujarnya.
Kamar 3 X 3 dilukis dengan cat akrilik di atas kanvas dengan teknik cukil kayu. Perupa ini tampaknya masih tetap konsisten dengan teknik cukil kayu – sebuah teknik melukis yang ditekuninya sejak ia bersama rekan-rekannya mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat Taring Padi di Yogyakarta pada 1998.
Meski masih mengusung roh Taring Padi, protest art, pesan yang disampaikan Ucup kali ini tidak lagi meledak-ledak seperti dulu. “Saya memang mulai mengolah pesan. Tidak lagi frontal dan meledak-ledak seperti dulu yang masih terpengaruh oleh eforia reformasi,” kata Ucup. Saat menyampaikan pesan melalui karya-karyanya, kali ini Ucup juga memasukkan unsur satire, bahkan humor. Kritik dan sindiran dilontarkan secara tidak langsung, tidak lagi frontal seperti dulu.
Boleh dibilang, saat ini Ucup lebih banyak memilih menyampaikan pesannya melalui unsur satire dan humor. Unsur-unsur itu terlihat jelas pada Kamar 3 X 3 dan karya berjudul Alih Profesi. Dalam Alih Profesi, Ucup menyindir tren dakwah yang dinilainya cenderung mementingkan unsur infotainment dan entertaintment. Ia menampilkan sosok lelaki berbaju koko, bersarung, berkopiah dan kain yang diselempangkan di pundak. Tangan kirinya memegang amplop, sedangkan tangan kanannya memegang buku berisi koleksi foto dan daftar riwayat hidup.
Ucup juga sengaja menampilkan hiasan dinding berupa iklan kecap berhadiah umroh dan mobil mewah. Lewat karya Alih Profesi itu, Ucup juga rupanya menyindir perilaku masyarakat yang gemar mengejar hadiah dibandingkan rajin menabung.
Selain itu, lewat karya-karyanya kali ini Ucup tampak masih konsisten mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan, khususnya yang dialami dan dirasakan masyarakat kelas bawah. Misalnya, ia menampilkan sosok seorang pelacur yang tengah menunggu pelanggan di “ruang prakteknya” pada karya berjudul Tak Pernah Mati. Ucup seolah sedang menegaskan bahwa dunia pelacuran tak akan pernah mati, meski pelakunya sering digusur-gusur.
Uniknya, figur-figur yang tampil di hampir semua karya Ucup adalah sosok dirinya sendiri. Artinya, ia mengritik dan menyindir berbagai persoalan melalui sosok dirinya sendiri. Ucup menyodorkan alasan, “Aku lebih mengenal diriku sendiri dibanding harus memahami orang lain. Karena lebih mengenal diri sendiri, mau diapakan saja tak ada masalah,” ujarnya.
HERU C. NUGROHO