TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Perupa Muhamad “Ucup” Yusuf adalah salah satu yang ikut membidani lahirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi, Yogyakarta, pada 1998. Taring Padi dikenal sebagai kelompok yang memproduksi poster dan pamflet pada masa Reformasi. Meski telah lama tinggal dan berkarya di Yogya, lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 6 Agustus 1975 ini baru pertama kali menggelar pameran tunggal di Yogya.
Berikut petikan wawancara Heru C. Nugroho dari Tempo dengan Ucup seputar karya-karya lukisannya, yang masih setia dengan teknik cukil kayu:
Berapa lama materi pameran ini disiapkan?
Sejak tahun 2008. Ada banyak karya, namun tetap saja harus ada kompromi dengan kurator, mana yang bisa tampil di pameran dan mana yang tidak. Namanya juga kerjasama, tentu harus ada kompromi.
Bagaimana Anda menggali ide-idenya?
Teman-teman di Taring Padi sangat membantu. Kalau kami sedang kumpul di markas, kami sering melontarkan ide-ide. Siapapun boleh menangkap ide-ide itu menjadi karya. Ide juga bisa muncul dari membaca koran, melihat fenomena di lapangan atau melalui siaran televisi. Ide-ide itu kemudian diolah sebelum akhirnya menjadi sebuah karya.
Figur-figur dalam lukisan yang dipamerkan ini banyak menampikan sosok Anda sendiri. Apa pertimbangannya?
Seniman itu lebih kenal pada wajahnya sendiri. Kemudian mengolahnya menjadi apapun, itu lebih bebas, tidak terikat daripada mengambil wajah orang lain. Kalau wajahnya sendiri dijadikan pelacur, petani, orang telanjang atau orang gila, itu lebih enak dan lebih etis dibanding meminjam wajah orang lain.
Pameran ini merupakan pameran tunggal pertama di Yogya. Apa arti pameran ini bagi Anda?
Unjuk gigi kepada kawan-kawan seniman lainnya, ini bagian yang sangat penting. Aku pengen menempatkan posisiku di antara kawan-kawan pekerja seni yang lain yang ada di Yogya. Perkara laku atau tidak, itu urusan pengelola galeri.