Dia tak menorehkan kuasnya untuk membentuk rangkaian huruf Latin dengan bentuk yang artistik. Karya Alfi, panggilan akrabnya, yang menggunakan cat minyak di atas kanvas itu, mengingatkan orang pada papan tulis hitam yang biasa ditemukan di sekolah, yang berisi sederet huruf dengan bentuk yang sangat biasa, sebagaimana orang menuliskan huruf pada umumnya. "Ide tentang papan tulis adalah tentang pembelajaran yang tak pernah berhenti," katanya.
Teks itu berupa pernyataan tokoh yang dia kagumi atau kata yang sangat biasa. Kadang dia rumuskan dalam bahasa Indonesia, tapi lebih banyak kalimat dalam bahasa Inggris. Pada satu karya, misalnya, hanya tertulis di bagian kiri kanvas satu kata dalam huruf kapital: LUPA. Selebihnya hamparan kosong citraan papan tulis hitam dengan garis-garis putih tipis bak permukaan buku tulis. Pada karya berjudul Fake, Alfi memenuhi papan tulisnya dengan mengolah teks yang dia kutip dari ucapan perupa Joseph Beuys dalam huruf kapital EVERY ONE AS AN ARTIST, yang akhirnya menjadi EVERY ARTIST NOT ONE.
Keistimewaan karya Alfi ini justru pada kemampuan teknis melukis, yang memang dimiliki kebanyakan pelukis yang pernah belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta atau STSRI Asri pada masa lalu. Alfi memindahkan realitas visual papan tulis ke kanvas.
Ia menorehkan cat di atas kanvas untuk membentuk berbagai jenis huruf dengan citraan seperti orang menulis dengan kapur tulis di atas papan tulis. Jika dilihat dari dekat, huruf itu berupa susunan titik. Kadang muncul citraan seperti huruf yang dihapus tapi tak tuntas, sehingga huruf itu masih tampak dengan menyisakan bidang putih samar di atas warna hitam. "Jejaknya pun masih tampak. Begitulah menurutku masa lalu. Tak akan hilang," kata Alfi.
Karyanya saat ini berbeda dengan karya sebelumnya. Dari sepuluh karya lukis, sembilan di antaranya meninggalkan bentuk (figur, benda), sapuan warna yang ekspresif atau leleran warna yang mengejar efek artistik. Sesuatu terjadi pada dirinya dua tahun lalu. Dia mencoba sesuatu yang baru yang sebelumnya memandang lukisan hanya sebagai alat mengungkapkan ekspresi kegelisahan pribadi. "Kali ini aku mencoba bermain-main dengan pikiran orang lain," katanya. Hasilnya, karya lukis seri Blackboard dalam pameran bertajuk "Life/Art#101: Never Ending Lesson" ini. "Aku butuh peremajaan pikiran dalam proses laku menggarap lukisan." Satu perubahan radikal yang tentu saja berisiko.
RAIHUL FADJRI