TEMPO Interaktif, Jakarta - Layar setinggi dua orang dewasa yang digantung sebagai backdrop panggung menghamparkan gambar-gambar Margaret Thatcher, George Bush, Mao Zedong, dan Saddam Hussein. Musik dimulai dengan intro arpeggio gitar yang karena diolah melalui efek seperti membawa pikiran melayang-layang menembus angkasa. Lalu vokal perlahan-lahan meniti larik "The lunatic is on the grass...".
Seorang penonton laki-laki di barisan kursi paling belakang menjerit sebelum ikut bernyanyi dengan fasih. Dia bahkan seperti sedang ekstase. Ketika masuk ke bagian chorus, dia bersama teman-temannya sudah seperti paduan suara saja: And if the dam breaks open many years too soon/And if there is no room upon the hill/And if your head explodes with dark forbodings too/I'll see you on the dark side of the moon.
Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski menjadi arena rendezvous bagi para penggemar Pink Floyd, band progressive rock dari Inggris yang di seluruh dunia barangkali lebih dikenal dengan hitnya pada 1979-1980, Another Brick in the Wall, Part II (yang menyanyikan "We don't need no education..."). Di panggung, yang tampil sebagai pusat perhatian adalah The Spirit of Pink Floyd Show. Ini memang bukan Pink Floyd, yang sudah tinggal sejarah. Tapi grup asal Inggris ini adalah tribute band Pink Floyd yang terhitung serius.
Sebenarnya, pertunjukan mereka, yang dimungkinkan terwujud berkat promotor Applause Productions, direncanakan berlangsung selama dua hari--selain Sabtu, juga Minggu. Karena jumlah peminat yang tak cukup banyak, pertunjukan pada Sabtu saja yang dilangsungkan. Dan, pada hari itu pun tak seluruh kursi yang tersedia di ruang berkapasitas 3.000-an orang tersebut terisi; deretan kursi di kelas bertiket Rp 1 juta hanya terisi separuhnya.
"Pink Floyd memang bukan pilihan selera mayoritas di sini. Berbeda dengan di luar. Mereka (waktu masih ada) selalu manggung di stadion," kata Indra Kusuma, pensiunan karyawan bank yang menggemari musik rock sejak remaja.
Meski demikian, mereka yang malam itu datang menonton--sekali lagi: bukan demi pertunjukan Pink Floyd asli--tampak antusias benar. Sejumlah orang terlihat mengenakan kaus bersablon aneka hal tentang Pink Floyd. Sebagian penonton, dari sosoknya, terlihat memang dari generasi yang sempat mengalami masa jaya grup yang (ketika masih utuh) terdiri atas Roger Waters (bas, vokal), David Gilmour (gitar, vokal), Richard Wright (keyboard), dan Nick Mason (drum) itu. Sebagian barangkali justru baru lahir pada masa yang sama.
Mereka seketika meluapkan antusiasme dengan bersuit-suit, bertepuk tangan, dan bahkan mendahului melafalkan empat not (Bb, F, G, E) yang menjadi tema lagu begitu intro Shine on You Crazy Diamond terdengar. Inilah nomor yang dipilih The Spirit of Pink Floyd Show--yang terdiri atas Nick Radcliffe (gitar), Neil Fairclough (bas), Andy Gibson (vokal), Stella Fairhead (gitar, keyboard, vokal), Rick Benbow (keyboard), Andy Treacey (drum), Ben Appleby (saksofon, perkusi), dan Carolyn serta Adele Harley (vokal latar)--untuk membuka pertunjukan sekitar pukul 21.10.
Lagu yang merupakan persembahan untuk Syd Barrett, salah seorang pendiri Pink Floyd, itu tak dibawakan sepanjang aslinya, terdiri atas sembilan bagian selama sekitar 26 menit. The Spirit rupanya lebih memilih versi yang pernah ditampilkan Gilmour dalam rangkaian tur album A Momentary Lapse of Reason pada 1987. Lebih ringkas. Mereka menyajikannya dengan baik.
Dari pembukaan itu, segera terlihat menonjol betapa Radcliffe dan Appleby tampil melampaui ekspektasi. Mereka tak hanya sanggup mereplikasi hampir setiap not yang pernah dihasilkan David Gilmour dan Dick Parry (saksofonis) dalam versi aslinya, tapi juga membubuhkan sedikit improvisasi yang menyegarkan. Mereka juga memukau di lagu-lagu lainnya.
"Selamat malam, Jakarta. Senang rasanya berada di sini," sang vokalis, Andy Gibson, yang berdandan dan berpotongan rambut bak anggota boys band, menyapa penonton begitu lagu pembuka usai. Tanpa basa-basi, The Spirit melanjutkan dengan nomor Time, lalu Learning to Fly. Nyanyian amatir terdengar di sana-sini di kursi penonton.
Sebenarnya, daya tarik yang dipromosikan dari The Spirit adalah miniatur pertunjukan standar Pink Floyd, yang selalu penuh tata cahaya menawan. Dan, dalam portofolionya, The Spirit, yang pernah bermain, antara lain, di Jepang, memang menjanjikan. Tapi, kecuali pemutaran video dan penayangan aneka slide di layar besar itu, tak ada yang benar-benar spektakuler. Panggung di ruang pertunjukan (biasa untuk resepsi pernikahan), andaikata hendak dipaksakan ditata dengan set yang lebih megah, tak cukup memadai. Lagi pula plafon ruangan juga terlalu rendah.
Toh, penonton rupanya memaklumi kekurangan itu. Untungnya, sang vokalis, Andy Gibson, berperforma mirip mesin diesel: kian lama kian bertenaga. Dengan set list--terdiri atas 15 lagu--yang meliputi pula era ketika Roger Waters telah meninggalkan posisinya dan memilih berkarier solo, tak ada alasan yang cukup bagi penonton untuk berdiam diri saja atau meninggalkan kursi.
Nyatanya, selalu ada saja momen yang membuat penonton merasa harus berinteraksi. Ruang pertunjukan bagaikan berderak ketika, misalnya, Hey You, disajikan. "Hey you, out there in the cold/Getting lonely, getting cold, can you feel me...," sebagian besar penonton kompak ikut bernyanyi. Ada histeria yang mengharukan.
Atau ketika Stella Fairhead menepis keraguan akan kemampuannya untuk melantunkan The Great Gig in the Sky. Nomor "angker" dari album Dark Side of the Moon yang menurut Pink Floyd bertema kematian ini merupakan musik instrumental vokal. Apa yang dicapai Clare Torry dalam rekaman aslinya, oleh penggemar Pink Floyd, dianggap sebagai mistar pengukur, yang harus dirujuk oleh siapa pun yang membawakannya.
Setelah kira-kira dua jam berlalu, setelah membawakan Comfortably Numb, The Spirit meninggalkan panggung. Tapi, seperti sudah umum, ini siasat saja. Penonton sudah pasti akan meminta tambahan lagu. Dan, memang begitulah: satu per satu anggota The Spirit kembali muncul dan mengakhiri show dengan Another Brick in the Wall, Part II. Penonton seolah tak terkendali. We don't need no education....
Purwanto Setiadi