Pemandangan di panggung menjadi agak aneh ketika Agus dan Arie muncul sembari menenteng alat musik saron ukuran kecil. Keduanya lalu merespons irama kendang yang dimainkan Sukoco. Penonton mulai antusias, mentertawakan tingkah lucu para pemusik itu.
Suasana panggung menjadi lebih hidup ketika Sony, Wibowo, dan Dhany bergabung sembari memainkan gong Cina ukuran kecil di tangannya. Tawa penonton meledak saat Purwanto dan Indra muncul sembari menenteng alat musik bonang ukuran kecil. Tak mau kalah, Sukoco kemudian membuka tas kresek hitamnya. Isinya ternyata alat musik kendang ukuran mini, lebih kecil dari kendang pertamanya. Tawa penonton pun kian meledak. Riuh-bergemuruh.
Dengan alat-alat musik mininya, para personel Kua Etnika itu menyuguhkan komposisi berjudul Cilik. Mereka memadukan nada-nada tinggi dari alat-alat musik mininya dengan cara sedikit atraktif. Penonton tertawa dan bertepuk riuh karena memperoleh suguhan komposisi musik yang tak lazim dari alat-alat musik mini tersebut.
Konser malam itu sejatinya merupakan peluncuran album ketujuh Kua Etnika bertajuk Nusa Swara. Namun, Djaduk Ferianto sengaja menampilkan Cilik di depan publik Yogya, sebuah komposisi yang tidak ada dalam album baru Kua Etnika tersebut.
Melalui Cilik, Djaduk sengaja menghadirkan komposisi musik yang didominasi nada-nada tinggi. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Djaduk harus membuat alat musik ukuran mini. Butuh waktu seminggu untuk mendapatkan alat-alat musik mini dari bahan kuningan tersebut.
Djaduk hendak menegaskan bahwa nada-nada tinggi itu sama pentingnya dengan nada-nada rendah dan sedang dalam sebuah bangunan musik. Ia juga hendak mengatakan bahwa cilik (kecil) itu juga penting dalam konteks situasi sosial. “Sesuatu yang besar itu harus dimulai dari hal kecil. Dalam konteks sosial-politik saat ini, wong cilik juga cenderung diabaikan,” katanya.
Konser Nusa Swara, yang menampilkan Trie Utami sebagai vokalis utama, dibuka dengan komposisi Tresnaning Tiyang, disusul komposisi Bromo yang terinspirasi oleh keindahan panorama gunung Bromo, Jawa Timur. Lalu, disambung dengan komposisi Merapi Horeg yang diambil dari album pertama Kua Etnika, Nang, Ning, Nong, Orkes Sumpeg tahun 1997.
Saat memainkan komposisi Matahari, penonton mendapatkan kejutan dengan hadirnya vokalis Glen Fredly. Glen yang sedang menyaksikan konser, sengaja diundang Djaduk naik ke panggung. Maka, penonton disuguhi adu teknik dua vokalis andal Indonesia tersebut.
Nomor berikutnya adalah Ken Nanemi, sebuah komposisi yang didominasi nada-nada dari alat musik petik bernama strum stick yang dibeli Djaduk dari Osaka, Jepang, beberapa bulan silam. Lalu, disusul komposisi Sintren, dimana vokalis Trie Utami harus bernanyi dari dalam kurungan ayam ukuran besar. Ketika kurungan dibuka, Trie Utami sudah mengenakan kacamata hitam dengan juntaian rangkaian kembang melati, mirip penari Sintren.
Komposisi berikutnya Kembang Boreh, yang diambil dari album kedua Kua Etnika, Ritus Swara, tahun 1999. Kembang Boreh atau bunga kematian ini didominasi oleh nada-nada dari alat musik rebab. “Komposisi ini memang terinspirasi dari melodi dari alat musik seperti rebab yang biasa dimainkan oleh para penjual penganan arum manis,” kata Djaduk.
Kua Etnika kemudian menghadirkan komposisi Nirwana yang menjadi salah satu andalan pada album barunya ini. Nirwana juga terinspirasi oleh keindahan alam gunung Bromo. Djaduk kemudiam menhadirkan dua penari reog ke atas panggung, berkolaborasi dengan Trie Utami yang melantunkan tembang Reog. Dan, konser malam itu ditutup dengan kompisisi Ronggeng to Latinos, sebuah kompisisi Latin yang berirama riang.
Konser Nusa Swara Kua Etnika di Concert Hall Taman Budaya itu berlangsung sangat cair dengan guyonan-guyonan khas Yogya. “Saya memang sengaja ingin mendekonstruksi konser yang berkonotasi serius, kaku dan angker, melalui guyonan-guyonan antara pemusik dan penonton,” ujar Djaduk. “Itulah sebenarnya semangat kesenian tradisi kita.”
HERU C. NUGROHO