Semangat baja para gerilyawan juga tegas tersirat dalam seri 12 lukisan wajah berjudul Rakyatku Bermental Gerilya. Meski bersifat karikatural, wajah-wajah yang diklaim mewakili rakyat Indonesia itu menyiratkan kegigihan, keberanian, dan kekayaan strategi untuk bertahan hidup. Beberapa di antaranya tampak berlagak seperti badut atau dengan muka yang dipenuhi gincu.
Itulah dua di antara puluhan lukisan karya perupa Stefan Buana, 39 tahun, yang dipamerkan di Tony Raka Art Gallery, Ubud, Gianyar, Bali, hingga 17 September mendatang. Pameran bertajuk Mental Gerilya tersebut digelar atas kerja sama Tony Raka dengan Tembi Contemporary Jogjakarta. Dalam pameran itu, Stefan melihat mental gerilya sebagai fakta psikologis rakyat Indonesia setelah 65 tahun merdeka. “Jadi gerilya bukan cuma siasat militer belaka,” kata pelukis kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, itu.
Stefan meyakini bahwa nilai kepahlawanan tidak boleh hanya diletakkan dalam wacana kebangsaan. Nilai-nilai itu hidup dalam pergaulan sehari-hari dalam berbagai bentuk. Setiap orang yang mampu berjuang dan bertahan hidup dipastikan membawa semangat itu. Seperti terlihat dalam karya yang berjudul Pahlawan Tempo Kini dan New War Area.
Selain itu, Stefan menggunakan media visualnya sebagai sarana melakukan kritik sosial. Menurut dia, sebagai seniman ia tidak bisa bersikap abai terhadap kenyataan-kenyataan yang menyesakkan dada. “Misalnya harga cabai yang sempat melambung menjadi Rp 100 ribu per kilogram. Itu sangat menyakitkan kita,” ujarnya.
Sementara itu, mental birokrasi yang korup meninggalkan kotoran sosial di mana-mana. Ironi itu antara lain terlihat dalam lukisan bertajuk Ojo Ngono Bung, yang dengan jelas memotret sosok yang suka buang air besar sembarangan saja.
Begitulah. Dalam pameran itu, Stefan juga membebaskan dirinya dari satu gaya melukisnya. Selain bergaya figuratif, karikatural, dan sebagian lagi vulgar, ia memainkan gaya surealistik. Itu tampak dalam karya Unknown Warrior, ketika ia meletakkan dua jejak kaki--satu kaki bersepatu dan satu lainnya tidak--di hamparan padang pasir serta sepucuk senjata di sudut yang lain. Ada juga karya yang hanya menampilkan sebuah ruang dengan anasir lipatan-lipatan kertas bertajuk Ranah Hukumku yang Kini Gamang.
Lalu, dalam urusan penggunaan bahan lukisannya, ia juga tak terpaku pada bahan-bahan konvensional. Stefan menggunakan bahan-bahan nonkonvensional, seperti asap lilin, lempengan besi berkarat, arang, paku, campuran serbuk kayu, dan benang, di atas kanvas. Uniknya, Stefan tak segan merobek, memaku, dan melubangi kanvas lukisannya bila cara itu dianggapnya yang paling pas untuk mewakili curahan hatinya.
Stefan menyatakan pameran yang digelar untuk merayakan hari ulang tahun RI yang ke-65 itu telah ia persiapkan sejak setahun lalu. Stefan berharap karya-karya itu akan memancing perenungan tentang arti kemerdekaan. “Bagi saya, merdeka itu berarti bisa mencurahkan ekspresi kesenimanan secara bebas,” katanya. Meski begitu, ia percaya setiap orang pasti akan memiliki interpretasi yang berbeda tentang makna kemerdekaan.
Valentine Willie dari Tembi Contemporary menyatakan sudah lama ia mengamati sepak terjang Stefan. “Keberaniannya bereksperimen dengan berbagai benda sangat menarik,” ujarnya. Misalnya, upaya Stefan membuat visualisasi wajah dengan benang yang ditimpakan ke atas kanvas. Cara itu membuat wajah-wajah menjadi unik dan ekspresif.
Willie menyatakan ia tidak khawatir sikap kritis Stefan akan menciptakan resistansi pasar seni rupa terhadap karya-karya itu. Bahkan lukisan Stefan cukup diminati, khususnya untuk karya-karya yang warnanya bernuansa natural. Simbol-simbol yang dihadirkan juga dengan mudah menyentuh serta memberikan kesan akrab bagi para pencinta seni, meskipun tema yang diangkat cukup serius karena menyangkut masalah sosial dan politik.
ROFIQI HASAN