----
Montecristo....
Salah satu hal yang mungkin terbayang mendengar kata itu adalah merek cerutu. “Ini cerutu yang, menurut saya, paling enak,” Eric Martoyo berkata tanpa nada ragu. Eric, 47 tahun, tergolong penikmat serius cerutu. Pantaslah bila lelaki yang mengaku businessman ini menilai mana cerutu yang sebaiknya dilupakan dan mana yang memang produk premium, seperti yang dia isap sepanjang obrolan tiga jam di satu restoran di Senayan City, Jakarta Selatan, pada hari pertama buka puasa.
Karena cita rasa dan sentuhan tradisi pembuatan cerutu Kuba yang sudah teruji zaman itu, Montecristo boleh dibilang identik dengan mutu. Refleksi hal inilah yang antara lain juga mendasari Eric dan lima karibnya--Fadhil Indra (piano, keyboard), Rustam Effendy (gitar), Alvin Anggakusuma (gitar), Haposan Pangaribuan (bas), dan Keda Panjaitan (drum)--untuk memutuskan memakai Montecristo sebagai nama band mereka.
“Ada beberapa alternatif, usulan setiap anggota,” kata Eric. “Dengan voting, dipilih nama Montecristo yang gampang diingat dan enak didengar.”
Cita rasa yang menimbulkan kesan kerja keras dan perhatian terus-menerus pada artistik itu sangat terasa dalam album debut mereka, Celebration of Birth (Montecristo International Music, 2010). Mula-mula hal ini tampak pada kemasannya, dengan booklet tebal bersampul warna emas; apalagi edisi terbatas berupa buku, yang sudah masuk katalog Library of Congress. Tapi lalu, tentu saja, juga pada musiknya.
Beredar mulai pertengahan Juli lalu, album berisi sembilan lagu yang distribusinya ditangani demajors itu memerlukan waktu penggarapan setahun lebih. Bukan saja ini kerja yang tak terbayangkan ketika pada 2007 mereka setuju, dalam kata-kata Rustam, “ngeband bareng, hanya untuk bersenang-senang”. Mereka pun pada akhirnya harus memikirkan setiap hal hingga detail, dari not, kata, aransemen dan bebunyian, hingga penyelesaian akhir. “Total kami menghabiskan 2.000 jam,” kata Eric.
Lagu pembuka, Ancestral Land, menjadi etalase bagaimana semua elemen itu terangkum rapi, pepat, dengan tekstur bebunyian yang tetap terasa kaya. Melodi vokalnya, dan bagaimana Eric menyanyikannya, barangkali akan memerlukan lebih dari sekali dengar. Tapi, begitu klik, seperti ketika kita memasang seat belt, tiada lagi alasan untuk merasa tak nyaman.
Berlatar Indonesia pada 1950-an, Ancestral Land bercerita tentang Mrs Chan muda yang memilih bermigrasi ke negeri leluhurnya karena terbujuk propaganda pemerintah Cina. “... The propaganda had been burning in her soul/She was only nineteen years old/When she said, “Mama I have to go...” Ada impian tentang hidup yang lebih baik. Tapi impian ini kandas. Di tempat tujuannya, dia menjumpai kenyataan bahwa dia (juga orang-orang lain yang senasib, sebenarnya) tak diakui sebagai bagian dari masyarakat setempat.
“Saya mendapat cerita ini, dari pelakunya, sudah lama,” kata Eric, yang menuliskan liriknya. “Ketika kami memutuskan untuk merekam album, saya tahu cerita ini harus menjadi lirik salah satu lagu. Saya menemuinya lagi di Hong Kong untuk mendapatkan detail cerita.”
Ada aura gelap di situ, setidaknya muram. Tapi akan keliru jika kita menganggap demikianlah kesan seluruhnya dari album yang meleburkan aneka karakter rock--sesuai dengan keragaman selera setiap anggota band--ini.
Dalam konstruksi musik yang cenderung simfonik dan neo-progresif, berkat aksen kental keyboard dan interlude sarat solo gitar yang bisa mengingatkan kita pada Marillion atau IQ, ada lagu-lagu yang menyelami wilayah kehidupan yang sunyi dan pilu, misalnya A Romance of Serendipity yang berupa balada dan Crash yang mengentak dan heavy. Tapi di lagu-lagu lain ada deklarasi atau pesan tentang identitas, harapan, dan cinta, misalnya About Us, Garden of Hope, dan In Touch with You.
Sama halnya dengan Ancestral Land, yang menyusupkan gejolak sosial politik berkaitan dengan keturunan Cina, ada lagu-lagu lain yang juga tak lepas dari mozaik tokoh dan peristiwa sejarah, juga sastra. Misalnya About Us dan Celebration of Birth. Atau kutipan tentang hakikat kegiatan ekonomi dari pemenang Nobel, Amartya Kumar Sen, dan Mahatma Gandhi dalam Crash, yang bertutur tentang bencana ekonomi pada 2008.
Montecristo bermula dari perkenalan Eric dengan Rustam pada Januari 2006. Mereka bertemu di Singapura saat menonton konser Dream Theater. Minat dan gairah yang sama, yakni musik, juga sastra, segera mengikat mereka dalam hubungan pertemanan.
Pada 2007, Rustam, 46 tahun, yang bekerja sebagai senior manager di satu perusahaan Prancis, mengajak Eric membentuk band. Ajakan yang disambut hangat. Bergabungnya Fadhil Indra menjadi poin tambahan yang penting setelah akhirnya, pada 2008, mereka memutuskan masuk studio. Fadhil sebelumnya telah aktif di Discus, Makara, Kadri Jimmo the Prinzes of Rhythm, dan menjadi music director beberapa proyek. Dialah yang lalu bertindak sebagai produser, juga arranger yang merasa “mendapat banyak tantangan dari Eric”.
Tanpa mengecilkan peran para personel lainnya, sentuhan Fadhil sulit dinafikan dalam membangun aransemen yang megah tapi padat dan bernas. Setiap lagu memperoleh semua detail yang mungkin, vokal dan instrumen, tanpa harus menjadi berlebihan, bahkan ketika string sections harus pula disertakan--pada lima lagu. Untuk string sections, “Saya menulis part untuk string sections dengan keyboard, yang ternyata tak selalu mudah untuk fingering (posisi jari) di instrumen gesek,” kata Fadhil. “Jadi terpaksa ada penyesuaian.”
Kontribusi yang mereka anggap signifikan datang dari Yockie Suryoprayogo. Musisi yang pernah memperkuat God Bless sebagai pemain keyboard ini berminat mengerjakan proses penyelarasan atau mixing--tahapan setelah rekaman selesai, sebelum mastering atau membuat induk rekaman yang kemudian diproduksi massal. Di sana-sini dibantu Veriko Indra, Yockie bekerja sekitar tiga bulan untuk memastikan seluruh permata yang dihasilkan di studio benar-benar bisa bersinar.
Hasilnya, yang kemudian dibuat masternya di Studios 301 di Sydney, Australia, adalah album yang bukan saja terdengar segar, dengan dinamika bebunyian yang luas. Lebih dari itu, sebenarnya, inilah album yang mau tak mau telah menempatkan Eric dan kawan-kawan pada posisi dengan dua tantangan besar: menyajikan apa yang mereka hasilkan di studio sama baiknya di panggung dan memastikan bahwa mereka masih akan menyambungnya dengan karya-karya berikutnya.
Purwanto Setiadi