Sebagian pengunjung yang sedang menyaksikan lukisan pada acara pembukaan pameran lukisan Identitas dan Eksistensi malam itu mengira lelaki tersebut orang tak waras yang nyelonong masuk ke ruang pameran. Apalagi, lelaki itu kemudian meraih batok kelapa bergambar bola dunia dan kemudian menendang-nendangnya, sembari tertawa-tawa. Batok kelapa utuh itu menggelinding di antara kaki-kaki para pengunjung pameran.
Sesekali, lelaki bertoga itu duduk di atas batok kelapa. Sesaat kemudian, batok kelapa itu diangkat dan dibanting ke lantai hingga pecah. Dengan ekspresi wajah serius, lelaki itu mengumpulkan batok kelapa yang pecah menjadi beberapa bagian, lalu menyusunnya kembali menjadi batok kelapa utuh. Batok kelapa itu kemudian diletakkan di atas meja.
Usai meletakkan “bola dunia” di atas meja, lelaki itu menunduk takzim ke arah kerumunan orang. Ia kemudian ngeloyor meninggalkan ruang pameran. Pengunjung baru menyadari bahwa lelaki itu bukan orang gila. Ia adalah seorang seniman yang sedang menggelar performing art.
Lelaki itu tak lain Putu Edy Asmara Putra, 28 tahun, salah seorang perupa yang sedang menggelar pameran di Bentara Budaya Yogya. Selain Edy, pameran yang berlangsung sepanjang 24-31 Agustus 2010 ini diikuti oleh Dewa Agung, 25 tahun, dan Rio Saren, 29 tahun. Mereka adalah perupa alumnus Institut Seni Indonesia, Denpasar, Bali. “Ini ide spontan,” kata Edy Asmara.
Melalui performing tersebut Edy hendak menyampaikan pesan bahwa eksploitasi alam dan kehancuran dunia sebenarnya diawali oleh orang-orang pintar. Kerusakan itu disimbolkan dengan bola dunia yang jatuh dan kemudian pecah berantakan. Kalaupun kemudian bola bumi itu bisa disusun kembali, tetap saja cacat.
Menurut kurator Putu Wirata Dwikora, ketiga perupa muda asal Bali ini tengah mengidentifikasi diri untuk mencoba meraih eksistensi diri melalui karya-karya pada pameran ini. Namun, mereka tidak melakukannya dengan cara mengusung narasi besar nan heroik dengan pretensi agar mendapat legitimasi sebagai warga seni rupa kontemporer. “Mereka justru mengangkat sesuatu yang sederhana,” tulis Putu Wirata Dwikora dalam katalog pameran.
Putu Edy Asmara, misalnya, mengangkat problem pertanian di Bali menjadi tema utama karya-karyanya. Edy menampilkan situasi panen padi di Bali serta keresahannya atas nasib budaya Subak yang kian tergusur industri wisata. Dunia pertanian yang pernah menjadi urat nadi masyarakat Bali itu kini ibarat terlena oleh industri pariwisata, layaknya orang yang sedang terlelap dan kemudian ditampilkan dalam lukisan berjudul Sleeping. Lukisan cat akrilik di atas kanvas ini menampilkan wajah dengan bola mata terpejam.
Rio Saren mengangkat persoalan sosial akibat teknologi komunikasi dan industri dengan memanfaatkan barang-barang bekas seperti roda sepeda, mug atau piring pecah. Roda sepeda lebih banyak dimanfaatkan sebagai frame bagi lukisan-lukisan Rio. Ia juga menggunakan medium batok kelapa untuk seri lukisannya yang berjudul Wajah dalam Tempurung.
“Itu menggambarkan keterkungkungan sebagian masyarakat, seperti katak dalam tempurung. Namun, sejatinya saya meyakini bahwa kearifan lokal masyarakat Bali sebenarnya mampu menjawab persoalan dunia modern,” ujar Rio, yang pernah hidup di Jepang ini.
Adapun Dewa Agung tetap menampilkan sosok gajah dalam kanvasnya. Di tangan Dewa Agung, gajah menjadi figur yang membawa pesan yang hendak disampaikan ke publik. Kali ini, Dewa Agung mengambil sosok burung dan capung untuk menemani figur gajahnya.
“Mereka memang tidak mengusung narasi besar tentang identitas. Bukan gagasan heroic, bukan pula orasi visual yang gagah perkasa untuk membela petani yang sampai sekarang lebih merupakan komoditas politik bagi para politisi,” tulis Putu Wirata Dwikora dalam katalog pameran.
HERU CN