“Saya memang mulai mengolah pesan. Tidak lagi frontal dan meledak-ledak seperti dulu yang masih terpengaruh oleh eforia reformasi,” ujar Ucup.
Kali ini Ucup memasukkan unsur satire, bahkan humor, dalam menyampaikan pesan pada karya-karyanya. Kritik dan sindiran dilontarkan secara tak langsung, tak lagi frontal seperti dulu. “Tema besar pameran ini memang berbicara tentang aku dan sesuatu di luar diriku, termasuk lingkungan dan negara,” katanya.
Misalnya, dalam karya Seri Penyelewengan Sejarah, yang terdiri atas tiga panel, Ucup menampilkan dirinya sebagai sosok Diponegoro, Soekarno, dan seorang aktivis mahasiswa pada lukisan “Maka Lahirlah Angkatan ‘66” karya Sudjojono. Diponegoro tetap ditampilkan dalam pose menunggang kuda putih dengan tangan kanan mengacung ke atas. Namun, kali ini Diponegoro tidak lagi memegang keris terhunus, melainkan memegang kuas dengan goresan di langit berwarna merah.
Soekarno dalam pose berpidato, tidak digambarkan sedang memegang teks, melainkan sebuah batu dengan capit udang yang menyembul. Adapun sang aktivis mahasiswa masih digambarkan mengenakan jaket merah, namun kali ini memegang print roller dan sebuah kaleng cat bertuliskan “Wood Cut Not Dead”.
Pesan yang hendak disampaikan Ucup melalui karya tersebut adalah ketika seseorang sedang memegang kekuasaan, maka ia bisa membuat versi sejarahnya sendiri. “Kalau mereka menyelewengkan sejarah, dampaknya akan dirasakan oleh rakyat banyak,” ujarnya. “Sedangkan kalau saya melakukan penyelewengan sejarah, efeknya hanya ada pada karyaku.”
Unsur satire dan humor mencuat kuat pada karya berjudul Makanan Nasional. Ucup menjejer gambar aneka kemasan mie instan dengan merek yang diplesetkan hingga memancing senyum. Ucup seperti sedang mengolok-olok produk pangan yang diperkenalkan kroni Soeharto yang kini menjadi industri bernilai miliaran dollar itu sebagai makanan nasional yang telah menguras dompet rakyat demi nutrisi kosong.
“Bisnis besar berjaya, menyulap mie instan menjadi pangan nasional yang bersama kretek –komoditas lain yang merajalela di tiap sudut nusantara—memperbudak masyarakat,” tulis Jason Tedjasukmana dalam katalog pameran.
Ucup juga masih konsisten mengangkat persoalan sosial dan lingkungan, khususnya yang dialami dan dirasakan masyarakat kelas bawah, ke dalam karyanya. Ia menampilkan sosok seorang pelacur yang sedang menunggu pelanggan di “ruang prakteknya” pada karya berjudul Tak Pernah Mati. Ucup seolah sedang menegaskan bahwa dunia pelacuran tak akan pernah mati, meski pelakunya sering digusur-gusur.
Dalam karya Antara Aku, Pabrik-pabrik, dan Sawah Terakhir, Ucup hadir dalam sosok seorang petani, dengan cangkul dan sabit di tangan. Ucup seperti sedang mencemaskan sawah-sawah yang makin tergusur oleh pemukiman dan industri.
Dari 43 karya yang dipamerkan di Tembi Contemporary Galleryi ini, Ucup terlihat masih setia dengan teknik cukil kayu, meski kali ini ia sedang membuat lukisan atau drawing di atas kanvas. “Itu kebiasaan yang tidak bisa hilang sampai saat ini,” katanya.
HERU CN