Allison Leight Holt satu dari sedikit orang yang tertarik untuk melihat relasi antara spiritualitas Jawa dan ilmu pengetahuan. Dan Allison mengekspresikan relasi itu melalui seni visual. Untuk itulah seniman Amerika ini tinggal di Indonesia, tepatnya di Yogya dan Solo, sepanjang 2009 – 2010 untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan spiritualitas Jawa, terutama tradisi ruwatan. Allison berbicara dengan banyak dalang dan ahli spiritualisme untuk menggali bagaimana sistem bekerja dalam spiritualitas.
Di Yogyakarta, Allison melakukan residensi di Rumah Seni Cemeti. Hasil residensi itu ia presentasikan dalam pameran bertajuk The Beginning was the End, yang digelar di ruang depan Rumah Seni Cemeti, hingga 25 Agustus mendatang. Memasuki ruang Cemeti, pengunjung langsung dihadapkan dengan kotak hitam besar, hampir menyerupai kubus, tempat karya-karya instalasi utama Allison dipajang.
Dalam kubus hitam itu terdapat empat instalasi kecil yang dipajang di masing-masing sudut ruang. Hampir semuanya mengambil bentuk dasar kubus. Barangkali itu sebabnya karya-karya ini disebut sebagai “Hypercube”. Pada Hypercube #1, Allison menciptakan kubus bening terbuat dari resin yang dicetak hampir sempurna bersih. Di sisi atas kubus, ia membuat ruang menyerupai stalaktit di gua-gua, dengan sedikit efek hembusan udara di dalamnya, yang lebih jauh lagi dapat kita baca sebagai representasi spirit tersebut.
Karya ini merupakan visualisasi dari pengalaman pribadi Allison ketika ia menjalani serangkaian upacara ruwatan pada awal 2010. Stalaktit itu merepresentasikan imaji tentang pertukaran energi di antara individu yang ada di sana.
Di sampingnya, Alisson membuat karya yang menyerupai bentuk piramid bulat. Ada empat level lingkaran tiga dimensi yang semakin mengecil ke arah puncak, tetap dalam bungkusan kubus resin. Di sekitar tubuh obyek ini, ada proyeksi film dan suara yang berputar di dalam. Cahaya dari film tersebut membuat obyek kubus ini seperti bersinar.
Satu kubus lagi, karya pertama yang dibuat oleh Allison di Yogyakarta, adalah kotak transparan yang di dalamnya berisi garis luar diagram lingkaran. Dalam ruang diagram yang sempit itu, Allison memutar lagi film yang sama, sebuah karya yang dibuatnya ketika ia berada di Amerika.
Dalam ruang kubus itu, Allison ingin menggambarkan bagaimana “dunia lain” yang sesungguhnya hadir di luar dunia material. Alih-alih merujuk pada mistifikasi atau sesuatu yang mengarah pada kehadiran “ruh”, ia melihat bahwa dunia lain ini sesungguhnya juga bermuara pada imajinasi manusia. Singkatnya, ia mencoba membuat visualisasi dari hal-hal lain yang sesungguhnya ada di luar bentuk-bentuk material konkrit yang ada ketika ada dua orang berinteraksi dan berkomunikasi.
Obyek terakhir adalah patung berbentuk katak, juga terbuat dari resin bening, diberi judul Oownology. Bentuk katak ini sepintas memang tidak berbeda dengan patung katak biasa. Makna dari obyek katak ini bisa dihubungkan dengan poster bergambar sama yang terpasang di dinding sisi kiri ruang limasan. Pada ‘poster’ itu, Allison membuat drawing menyerupai poster-poster edukasi tentang anatomi tubuh hewan. Ia menggambarkannya dengan gaya sedikit surealis. Bagian wajahnya ditutup dengan kelopak mata, seperti menggambarkan bagaimana jiwa manusia sering dirujuk sebagai ‘mati hati’, atau pancaran dari jiwa.
Sederet dengan poster bergambar katak tersebut tampak poster-poster lain yang mengingatkan kita pada poster-poster edukasi, berbentuk diagram atau struktur yang biasa kita temui di ruang-ruang kelas sekolah atau laboratorium sekolah. Allison secara sengaja memang menggunakan pendekatan ini untuk mencoba merelasikan antara konsep atau struktur dari spiritualisme dan ilmu pengetahuan. Di dalam poster-poster ini, kita melihat bagaimana spiritualisme Jawa, misalnya, yang kemudian terdokumentasikan dalam cerita atau mitos-mitos lama seperti Murwakala atau Sudamala.
Selama proses risetnya di Solo dan Yogya, Allison menelusuri bagaimana kepercayaan tersebut dihayati oleh pelaku-pelaku spiritualitas Jawa pada masa kini. Ia berbicara dengan para dalang, mencoba untuk mencari gambaran besar dari relasi antara kosmos, manusia, dan elemen-elemen lain yang membentuk dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat filsafati semacam ini memang sudah menghantui Allison sejak ia masih berusia belia. Menurut Allison, kosmologi Jawa menjadi tawaran menarik yang berkaitan dengan konsep semesta dan manusia, dalam kehidupan masyarakat yang mekanistis sekarang ini.
Datang dari dunia Barat, yang notabene selalu mengedepankan rasionalisasi atas berbagai fenomena, Allison ingin merangkai kemungkinan rasionalisasi itu melalui seni. Seperti ada panggilan untuk menelusuri pertanyaan-pertanyaan besar itu, baik dengan melakukan riset maupun praktik.
“Saya menemukan diri saya bisa melakukan apa saja melalui seni. Ia tidak memberi batasan,” kata Allison. “Seni membuat saya bisa mentransformasikan pengalaman saya kepada orang lain, membuat mereka merasakan apa yang saya lihat.”
Yang menarik, pernyataan Allison selanjutnya bahwa tema semacam ini, yang jarang disentuh oleh para seniman, sesungguhnya menjadi ajakan untuk menghayati keberadaan diri dan mengerti ada banyak peristiwa terjadi pada saat bersamaan, yang acap menimbulkan perasaan aneh. Perasaan ini seringkali dihindari, padahal sesungguhnya ia merupakan bagian langsung dari keberadaan manusia.
ALIA SWASTIKA (PENGAMAT SENI)