Malam itu, seorang perempuan muda dengan sackdress hitam, yang berdiri di tengah panggung, mencuri perhatian para penonton. Dialah Mery Kasiman, 28 tahun, yang menjadi pemimpin semua musisi di panggung. Aba-abanya menentukan semua permainan Mery Kasiman Project--nama kelompok musik itu--dalam konser jazz bulanan Serambi Jazz yang digelar GoetheHaus.
Konser dibuka dengan tembang Floating karangan Mery Kasiman. Piano mendentingkan rangkaian nada minor yang tak terlalu cepat. Sempat berubah menjadi ceria, melodi yang menyayat kembali muncul. Ketika piano yang dipegang Ali Akbar Sugiri mengambil posisi rhythm, Eugene Bounty yang memainkan klarinet menjadi lead. Diiringi tabuhan pelan drum Sandy Winarta, petikan gitar Robert Mulya Rahardja, dan kontrabas Indrawan Tjin, Eugene menghadirkan nada-nada sendu.
Tiba-tiba lima anggota brass section ikut ambil bagian. Mereka adalah dua pemain trompet, Harmoniadi dan Wisnu Fajar; dua pemain trombon, Enggar Widodo dan Widiyekso; serta pemain saksofon tenor sekaligus flute, Boyke Priyo Utomo. Mereka memberikan beberapa tekanan dalam permainan.
Maka menjelmalah di ruang pertunjukan itu satu big band. Bergantian para pemain mengambil peran lead melody. Permainan kontrabas Indrawan Tjin, misalnya, menghadirkan rangkaian nada berat yang cepat dan mengalir. Di panggung itu tergelar sebuah suguhan menawan: penggabungan teknik individu dalam permainan orkes yang meriah.
Penonton pun bersorak. Satu awal baik yang menimbulkan harapan menyaksikan permainan yang lebih hebat lagi. Dan sungguh, Mery mampu membawa pertunjukan memenuhi harapan penonton. Hingga akhir lagu, penonton dibuat tak kehilangan gairah dalam konser berdurasi hampir dua jam itu.
Komposisi Mery berikutnya, Down by the River, kembali dibuka dengan permainan piano--alat musik yang dipelajari Mery sejak usia tujuh tahun. Permainan piano yang tanpa rhythm berpadu dengan permainan drum yang agak cepat dan sering menggunakan simbal.
Pada lagu ini, Mery menghadirkan saksofonis Arief Setijadi. Flute dan saksofon pun bergantian menjadi lead. Lalu trombon dan trompet memberikan tekanan sedikit keras. Begitu juga dengan nada-nada dari klarinet yang terasa hangat. Sungguh terlihat permainan brass section yang luar biasa. Begitu meriah dan membuat panas penonton.
Kekuatan brass kembali muncul pada lagu Waterfall. Eugene dan Boyke bergantian menjadi solois. Mereka menghadirkan nada-nada cepat, terkadang melengking. Permainan yang menunjukkan teknik pengaturan napas yang tinggi. Sekaligus kecepatan jari-jari yang menjelajah dari oktaf sedang ke tinggi.
Pada pertunjukan itu, Mery juga menghadirkan aransemen lagu-lagu karya saksofonis John Coltrane dan pianis Thelonious Sphere Monk, keduanya dari Amerika Serikat. “Saya dari dulu menyukai lagu-lagu mereka,” kata Mery.
Dalam komposisi itu, Mery menghadirkan sejumlah musisi terkenal. Dewa Budjana menggantikan Robert pada lagu Moment’s Notice karya John Coltrane. Permainan cepat dihadirkan. Saksofon mengambil-alih lead yang semula dipegang piano. Brass memberikan beberapa entakan dalam nada yang relatif sama. Lalu Budjana pun memainkan melodi cepat. Kadang berupa chord dua atau tiga nada yang digeser menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, lalu berganti menjadi melodi nada tunggal.
Penonton kembali dibuat terpukau oleh lagu karya Thelonious Monk, Monk’s Mood. Kembali brass menjadi pemimpin di bagian awal lagu. Permainan trombon dan trompet menjadi pembuka, dilanjutkan dengan flute, saksofon, dan klarinet. Keanggunan jazz mampu diperlihatkan para pemain brass.
Di bagian tengah, pentolan simakDialog, Riza Arshad, mengambil lead dengan akordeonnya. Ia menghadirkan melodi yang menyayat dan sendu, disertai rhythm gitar Budjana. Lalu berganti, Budjana memainkan melodi, kali ini lebih hangat dan tak menggebu-gebu, serta Riza memberikan sentuhan chord dengan tekanan berubah-ubah. Terakhir, melodi Budjana ditutup dengan memainkan tremolo arm. Nakal tapi sangat menyenangkan penonton.
Belum cukup. Penonton kembali menyaksikan permainan jazz nan dahsyat dalam Monk’s Dream. Basis Barry Likumahuwa menggantikan Indrawan Tjin, dan Robert bertukar posisi dengan Budjana. Dimulai dengan permainan piano Riza, pengulangan melodi flute dan dua saksofon dilakukan bergantian dengan piano. Permainan tempo tinggi pun diperlihatkan.
Tak salah Mery memilih Barry. Permainan pembetot bas berusia 27 tahun ini begitu cepat dan kuat, memborbardir telinga penonton dengan gaya progresif. Petikannya mencapai fret tinggi. Rangkaian melodinya sempat naik setengah nada beberapa kali. Mulutnya komat-kamit mengikuti nada yang didengungkannya, aksi panggung yang membuat ruang pertunjukan dipenuhi tempik riuh dari segala penjuru.
Permainan kian semarak saat trompet dan trombon masuk. Kembali para musisi di panggung mengulangi bagian awal lagu. Sedikit staccato menjadi akhir lagu yang manis. Alhasil, setelah sembilan lagu dimainkan, penonton pun ngotot tak mau beranjak. Mereka berteriak-teriak meminta satu lagu tambahan.
Akhirnya, Mery berpiano memainkan Stella by Starlight ditemani Riza, Robert, dan Barry. Bergantian mereka memainkan melodi dan memberikan rhythm, menghadirkan pertunjukan yang tak kalah menarik. “Mery mampu menghadirkan pesta jazz malam ini. Semua musisi pun ikut berpesta,” kata Riza.
PRAMONO