TEMPO Interaktif, Jakarta - Kartun yang menggambarkan seorang guru yang sedang mengejar layangan putus karya Praba Pangripta itu terasa segar sekaligus menggelitik. Segar, karena Praba menyajikannya melalui teknik digital print dengan memanfaatkan efek-efek warna yang tersedia pada perangkat lunak photoshop. Menggelitik, karena Praba membidik persoalan aktual namun disajikan dengan cara jenaka.
Praba Pangripta terusik oleh fenomena guru-guru yang harus tergopoh-gopoh mengejar sertifikasi yang diberlakukan Departemen Pendidikan Nasional, beberapa waktu lalu. Akibatnya, hak-hak anak didik menjadi terabaikan. Maka, lahirlah karya berjudul Mengejar Sertifikasi yang kini menjadi salah satu materi pameran Cartoon on Canvas “Jogjakartun-hadiningart” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, 14-22 Agustus 2010.
“Ketika program sertifikasi dicanangkan, banyak guru yang dibuat sibuk. Ikut seminar, kursus dan sebagainya, agar persyaratan sertifikasi terpenuhi. Akibatnya, hak anak didik menjadi terabaikan. Ketika anak-anak didik masih tekun belajar, guru-guru malah lari mengejar hal lain,” jelas Ketua Paguyuban Kartunis Yogyakarta (PAKYO) ini. Lucunya, kesibukan guru-guru itu digambarkan seperti anak-anak yang sedang mengejar layangan putus.
Pameran Cartoon on Canvas “Jogjakaratun-hadiningart” ini diikuti 37 kartunis dari berbagai kota di Indonesia. Selain Praba, kartunis senior lainnya yang ikut pameran ini adalah GM Sudarta dan Pramono R Pramoedjo.
Menurut Ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti), Is Ariyanto, menggunakan media kanvas untuk berekspresi memang jarang dilakukan oleh kartunis. Karenanya, pameran kartun di atas kanvas ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi seni kartun di Indonesia.
Namun, Praba menilai banyak peserta pameran yang belum bisa menangkap maksud di balik penggunaan media kanvas untuk karya kartun ini. “Masih banyak kartunis, khususnya teman-teman kartunis luar Jawa, yang sekadar memindahkan kartun di atas kertas ke media kanvas. Mereka belum memberi sentuhan artistik yang lebih tinggi sehingga karya kartun layak dipajang di kamar atau lobi hotel layaknya lukisan pada umumnya,” katanya.
Sementara dua kartunis senior, Pramono dan GM Sudarta, dinilai menghadirkan karya yang pantas dipuji. Pramono, misalnya, mengusung empat karya kartun dengan media cat di atas kanvas. Salah satu karya yang menggelitik adalah Sri Hijrah yang mengangkat persoalan kontroversi hengkangnya Menteri Keuangan Sri Mulyani ke World Bank, menyusul gonjang-ganjing kasus Bank Century.
Pramono bahkan mengusung karya tiga dimensi ke ruang pamer. Ia menghadirkan ranting dan sisa potongan kayu yang dibentuk menjadi rak, cangkir, sendok, garpu dan piring. Kelucuan karya ini terletak pada judulnya : Timbang Dibong alias daripada dibakar!
Kartunis senior GM Sudarta juga mengusung empat karya pada pameran ini. Tiga karya menggunakan medium cat dan satu karya (Freedom of Speech) menggunakan medium campuran antara potongan koran dan cat. Dalam kondisi sakit dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit, GM Sudarta juga masih sempat menyerahkan karya Selfportrait and Friend berupa potret dirinya dan Om Pasikom, tokoh kartun ciptaannya yang sering nongol di Harian Kompas.
Di luar kekurangan yang disebut Praba, tetap terasa ada kesegaran menikmati kartun di atas kanvas disbanding kartun yang biasa terpampang di Koran atau majalah. Maka, tidak salah jika muncul kalimat “Kartunis bisa jadi pelukis, pelukis belum tentu (mau) jadi kartunis…” seperti yang tertuang pada selembar kanvas di dekat pintu masuk ruang pamer.
Heru CN