TEMPO Interaktif, Perang selalu membawa akibat yang mengerikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Kehilangan keluarga, kesehatan memburuk, akses pendidikan putus, dan trauma mental. Perang juga membuat transfer budaya menjadi sangat lambat, bahkan dalam tataran tertentu mandek sama sekali. Dan, ketika budaya baru datang, di situlah ia justru acap menelan korban.
Nelofer Pazira, sutradara dan jurnalis perempuan berkebangsaan Kanada, meramu sejumlah fenomena konflik budaya di sebuah desa di wilayah perang Afganistan. Perempuan berdarah Afganistan itu mengemasnya dalam film fiksi berbasis dokumenter: Act of Dishonour. Kamis pekan lalu, film itu diputar di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta.
Dalam film itu, Pazira juga berperan sebagai Mejgan, seorang penerjemah bagi kru film Kanada yang ingin membuat film di desa terpencil, Kabul. Di sanalah Mejgan bertemu dengan seorang perempuan muda bernama Mena (Marina Golbahari). Dan, Mejgan rupanya tertarik mengajak Mena untuk berperan dalam film itu.
Mena, 15 tahun, seorang perempuan cantik yang telah bertunangan dengan Rahmat, seorang sopir angkutan umum. Namun Mena hanya bisa menemui Rahmat dari balik tembok rumahnya. Tanpa berbincang dan sesekali hanya bisa memandang jauh melalui lubang yang mirip jendela pada tembok itu. Bahkan, ketika Rahmat hendak memberikan cendera mata untuk pernikahan nanti, ia hanya meletakkannya di atas lubang jendela itu.
Seperti gadis lainnya, Mena tak boleh ke luar rumah tanpa ditemani saudara atau kerabatnya. Kecuali, jika ia sudah bersuami. Ini sangat lazim di desa itu. Dan, Mena, yang piatu, berkewajiban mengurus rumah dan memasak bagi ayah dan dua saudara laki-lakinya.
Pertemuan antara Mejgan dan Mena kemudian berlanjut dengan sebuah percakapan yang akrab. Mejgan sering bertandang ke rumahnya untuk belajar sesuatu tentang budaya desa itu. Pazira memang sengaja menempatkan peran Mejgan seperti orang asing di rumah sendiri. "Ini persis seperti pengalaman saya. Meskipun saya orang Afganistan, saya sudah berada di Kanada selama 20 tahun," ujar Pazira. Terang saja, adat desa itu sudah menjadi sangat asing bagi Pazira.
Mena tak segan-segan menceritakan pertunangannya dengan Rahmat. Bahkan ia memperlihatkan pakaian pengantin milik ibunya, yang diberikan sebelum meninggal akibat tuberkulosis. Pelayanan kesehatan yang buruk membuat ibunya tak tertolong lagi. Mena sangat gembira menunggu hari istimewa itu. Hanya satu yang tak dimiliki Mena untuk upacara pernikahan itu: burqa--kain penutup muka yang biasa dipakai pada upacara sakral itu. Dan Mena sangat menginginkannya.
Mendengar itu, Mejgan berjanji akan memberikannya, asalkan Mena bersedia membantunya untuk berperan dalam film yang ia buat. Mena sempat ragu untuk mengiyakan ajakan itu, karena ia harus ke luar rumah. Mejgan meyakinkan bahwa Mena aman saat pergi bersamanya.
Tapi, setelah memainkan peran, Mena dipanggil oleh dua saudara laki-lakinya. Ia gusar dan panik, kepergiannya pastilah diketahui sang ayah. Mena pulang dengan perasaan yang tak bisa ia bayangkan lagi. Tawaran Mejgan untuk menemani pulang tak digubrisnya lagi.
Dari situlah konflik batin antara Mena dan ayahnya, Khak (Ghafor Quoutbyar), mulai tumbuh. Kejadian itu menjadi perbincangan orang-orang desa. Dan Khak seperti tak nyaman lagi dengan gunjingan orang-orang terhadap putrinya.
Hingga suatu malam, Khak bermaksud menikam putrinya dengan belati saat Mena tertidur. Namun ia tak sampai hati melakukannya. Ghafor dengan sangat lihai menempatkan mimik muka dan ekspresi perannya pada posisi yang sangat sulit. Menghadapi adat muslim keras yang ia anut dan putri kesayangan di hadapannya.
Pagi itu, Mena berpakaian pengantin lengkap tanpa burqa. Mena dilepas oleh ayah dan saudara-saudaranya, dan kemudian diiringi oleh Rahmat, yang memanggul senjata. Jalan desa itu begitu sunyi, meski penghuninya ke luar rumah untuk melihat kepergian mereka.
Berdua mereka melewati makam ibu Mena, lembah, dan sungai-sungai. Tanpa bicara sepatah kata pun. Berhenti di sebuah sungai kecil, ketika Mena membasuh tangan dan mukanya. "Apakah kau tidak ingin sejenak menikmati hidupmu? Bukankah dunia ini diciptakan dengan sangat indah untuk dinikmati," begitu kata Mena kepada Rahmat, yang selalu murung.
Perjalanan mereka berhenti di gurun pasir yang sangat luas. Mena dengan terisak-isak dan sadar sepenuhnya membalikkan badan, lalu berdiri mematung. Membuang pandangan Rahmat, tunangannya. Rahmat dalam posisi senapan siap terbidik. Air mata dan keraguan Rahmat tak terbendung lagi. Ia teringat, dirinya pernah melakukan hal serupa dulu, menembak seorang perusuh desanya.
Mena, yang mematung, siap dengan ajalnya. Lalu terdengarlah bunyi senapan itu. Rupanya, Rahmat tak tega membunuh kekasihnya. Mena ditinggalkannya di padang gurun itu. Sendiri.
Pada waktu yang bersamaan, Mejgan tak mampu lagi menolong Mena. Ia bersama teman-teman krunya meninggalkan desa itu karena ketidakramahan penduduk desa sejak kejadian tersebut.
Pazira seolah ingin memperlihatkan paradigma moral yang sangat kaku dan prasangka yang sangat berlebihan menurut kebudayaan Barat yang dia pahami. Hukuman yang sangat tragis menimpa perempuan itu.
Inilah sebuah potret kehidupan di Afganistan. Sebuah bukti atas semangat untuk bertahan hidup dalam perseteruan dan konflik berkepanjangan. Nilai nyata untuk melawan ketidakadilan.
Hanya, adegan Pazira memasukkan cerita-cerita para pengungsi yang datang ke desa itu untuk menempati kembali rumah yang sudah ditinggalkan saat perang malah memecah fokus jalan cerita. Mestinya, bagian itu bisa dijadikan sekuel film tersendiri.
ISMI WAHID