Di depan tamu-tamunya, Kong Lo dan istrinya, yang tak setuju atas hubungan kedua sejoli itu, lantas memaki-maki dan mengusir Lientje dari rumahnya. Keduanya menganggap Lientje tak pantas mendampingi putra mereka satu-satunya. Ayah Lientje, Tjee Kim Gin, adalah bekas tukang tauco keliling yang tidak berpendidikan. Meskipun sekarang Tjee Kim Gin sudah menjadi saudagar kaya, Kong Lo tetap menganggap mereka tidak sederajat. "Kita putus saja," kata Lientje kepada Peter sambil berlari beruraian air mata.
Tak rela kehilangan kekasihnya, Peter pun berusaha membujuk ayah-ibunya agar merestui hubungan dia dengan Lientje. Hasilnya nihil. Orang tuanya tetap bertahan dengan keputusan mereka. "Kita orang punya famili kapiten Chinese, kacilakaan, kahinaan kalau lu kawin sama anak tukang tauco itu," kata sang ayah. Tapi Pieter tak putus asa. Bersama kedua sahabatnya, dia mengatur sebuah siasat dengan berpura-pura mencuri seperangkat perhiasan milik keluarga Lientje.
Kalung, gelang,cincin bertahktakan berlian dan rubi itu lalu dia gadaikan dan hasilnya diberikan kepada orang tuanya. Mengetahui sang anak adalah pelaku pencurian yang kini tengah dicari-cari polisi, Kong Lo dan istrinya kebingungan. Ibu Peter bahkan sampai pingsan. Mereka lalu mengatur rencana agar tuntutan terhadap Pieter ditarik, yakni dengan segera menikahkan Peter dengan Lientje. Toh, usaha itu ternyata tak mudah. Orang tua Lientje yang sakit hati lantaran putri tunggalnya dipermalukan di depan umum, menolak mentah-mentah lamaran keluarga Peter.
Kisah cinta Peter dan Lientje yang terhalang oleh perbedaan strata sosial ini dikemas oleh sutradara Daniel H. Jacob dalam pentas teater berjudul Pentjoeri Hati, yang dipersembahkan Teater Bejana bekerja sama dengan Pemuda Tridharma Indonesia dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia di Gedung Kesenian Jakarta, dalam tiga sesi pertunjukan, Sabtu dan Ahad lalu. Sandiwara satu babak bergaya jenaka itu merupakan hasil adaptasi Daniel dan Veronica B. Vonny dari naskah drama PENTJOERI-Tooneelstuk dalem Satoe Bagian (1936) karya Kwee Tek Hoay, pengarang drama dan novel Melayu Tionghoa yang terkenal pada masanya.
Kwee Tek Hoay, yang lahir pada 31 Juli 1886, adalah anak bungsu dari Kwee Tjiam Hong, pedagang obat-obatan dari Tiongkok. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, seperti Mingguan LI PO, surat kabar Ho Po, dan Bintang Betawi. Dia juga pernah menjadi pemimpin redaksi di sejumlah media massa, seperti harian Sin Bin (Bandung, 1925) dan majalah bulanan Mostika Panorama (1930-1934). Salah satu perhatiannya di dunia jurnalistik adalah kehidupan masyarakat Tionghoa. Masalah ini pula yang mewarnai karya sastranya. Karya sastranya yang banyak menjadi perhatian orang di antaranya Boenga Roos dari Tjikembang (1972), Drama di Boven Digul (1929-1932), dan Kehidupannya Sri Panggung (1931).
Pada Pentjoeri Hati, Kwee mengangkat persoalan cinta anak muda yang dihalangi oleh perbedaan status. Cerita itu dikemas secara jenaka. Dalam pengantarnya, Kwee Tek Hoay mengatakan drama komedi yang ditulis berdasarkan pesanan itu boleh dipentaskan oleh siapa pun. "Karena itu, kami memberanikan diri untuk mengadaptasinya tanpa menghilangkan esensi dari naskah aslinya," kata Daniel. Sebelumnya, Teater Bejana juga pernah mementaskan dua karya Kwee Tek Hoay lainnya, yaitu Boenga Roos dari Tjikembang dan Nonton Capgomeh.
Pentjoeri Hati sekaligus menandai kembalinya Teater Bejana setelah lima tahun tidak meramaikan pentas teater Indonesia. Kelompok teater yang didirikan pada 19 Mei 2002 oleh Daniel dan kawan-kawannya itu memulai debutnya pada April 2003 lewat pementasan drama monolog Cairan Perempuan karya Riris Sarumpaet. Selanjutnya, pada Desember 2003, mereka mementaskan drama komedi satire berjudul Hamil karya penulis Prancis, Andre Rousin. Boenga Roos dari Tjikembang dipentaskan pada Agustus 2004, dilanjutkan dengan Nonton Capgomeh pada Agustus 2004 dan Februari 2005. Teater Bejana terakhir kali tampil di depan penikmat teater lewat pentas bertajuk Pinangan karya Anton Chekov pada tahun yang sama. "Ternyata sangat sulit mengumpulkan energi kami kembali. Tidak hanya untuk menyatukan visi para pemain, tapi juga untuk menggalang penonton yang telah kami bina sebelumnya," ujar Daniel.
Pemilihan kembali karya Kwee Tek Hoay kali ini sekaligus menunjukkan konsistensi Teater Bejana dalam mengangkat kembali karya sastra Melayu Tionghoa yang selama ini sering terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Daniel menggunakan latar waktu tahun 1930-an, termasuk menggunakan bahasa Melayu Pasar, yang cukup memikat sebagai latar buat pemanggungan.
Sepanjang lebih dari dua jam pementasan, penonton disuguhkan kata-kata sapaan, seperti "ncek", "ncim", "owe", "gue", dan "elu". Juga penggunaan akhiran "ken" untuk kata-kata yang berakhiran "kan", seperti pada kata "pikirken". Konsep ini tampaknya digunakan untuk menjaga keotentikan cerita. Latar musik berciri Melayu Tionghoa dari kelompok musik Mahagenta makin memunculkan efek suasana yang sangat "tempo doeloe".
Sayangnya, dialog-dialog yang mengalir sering terdengar datar. Para pendukung lakon kurang berhasil mengaduk-aduk emosi penonton melalui kualitas akting yang mumpuni. Mereka masih terlihat sebagai penghafal naskah yang baik. Beberapa adegan yang seharusnya menguras emosi mengalir tanpa kesan lantaran para pemain kurang menjiwai adegan tersebut.
Walhasil, pertunjukan yang dipenuhi oleh dialog-dialog panjang itu sedikit membosankan. Untunglah, penonton cukup terhibur oleh kehadiran beberapa tokoh lucu, seperti dukun beranak Mak Ceprot, Siti, Oentoeng, dan Ki Pasangin, yang muncul dengan dialog dan aksi kocak. Pentas Pentjoeri Hati ditutup oleh kehadiran barongsai dan liong, yang cukup menghibur.
Nunuy Nurhayati