Laksmi's Tapa, begitulah karya ini diberi judul. Instalasi dinding dari fiberglass dan kayu yang kemudian dipadu dengan lampu untuk memberi efek pendar. Satu di antara beberapa karya tunggal perupa Laksmi Shitaresmi itu disuguhkan di Nadi Gallery, Jakarta Barat, hingga 16 Agustus mendatang dalam sebuah pameran bertajuk Kocap Kacarita.
Seniman kelahiran Yogyakarta itu seolah ingin memperlihatkan jati dirinya yang njawani. Karya-karyanya cenderung menuturkan kisah pengalaman hidup sehari-hari yang kemudian disusun begitu rupa. Seperti halnya filosofi Jawa, yang terlihat adalah karya rupa yang sarat dengan simbolitas. Beberapa karyanya adalah penggambaran atas tubuh dan citra diri Laksmi.
Enin Supriyanto, dalam catatan kuratorialnya, menyatakan simbol berarti dua mata pisau yang sama-sama tajam. Satu sisi ia menyembunyikan suatu makna, di sisi lain ia menusukkan makna itu dari balik selubung tafsir.
Kira-kira memang begitulah yang dilakukan Laksmi dalam proses kreatifnya. Sebagai seorang Jawa yang hidup di tengah lingkungan masyarakat Jawa, ia berada pada ketegangan antara dua kondisi yang sifatnya personal dan sosial. Dan jalan keluar dari ketegangan ini bukan lantas melakukan pemberontakan terhadap tatanan nilai sosial untuk mencari kebebasan dan aktualisasi pribadi. Untuk menghadapinya justru sudah ada dalam tatanan budaya Jawa itu sendiri.
Laksmi's Tapa adalah potret diri Laksmi yang ingin selalu mawas diri. Itu tak lain merupakan etika orang Jawa yang mau bersikap kritis terhadap diri sendiri dan bersedia mengendalikan diri. Ia menghadirkan dirinya sebagai seorang dewi untuk mencapai kesempurnaan batiniah dengan samadhi.
Laksmi juga tak segan menempatkan dirinya sebagai anjing dalam beberapa karyanya. Mungkin inilah caranya untuk menyampaikan kritik tajam dengan menusukkan makna dari balik tafsir itu. Dalam konteks Jawa muslim, anjing adalah binatang yang dianggap nista, menjijikkan, dan kotor, sehingga harus dijauhi. Salah satu karyanya berjudul Khafillah Menggonggong, AKUpun Berlalu adalah sebuah satire. Karya ini berupa instalasi patung berbahan dasar aluminium. Wujudnya adalah anjing bersayap, bertubuh panjang dengan kepala yang tak lain adalah Laksmi sendiri.
Enin dalam kuratorialnya mengatakan, karya ini dibuat berdasar pengalaman hidup Laksmi di lingkungan perumahan tempat tinggalnya. Sebagai seorang “anjing” yang sendiri, sekedar melihat dan sibuk di tengah jalan, justru digonggongi oleh sejumlah “kafilah”, komunitas tetangganya. Ia merasa bahwa pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” menjadi berlaku terbalik. Sebagai seorang seniman sekaligus ibu rumah tangga yang secara ekonomi berkecukupan, tetangganya malah serbacuriga. Bahkan lebih kejam lagi, ada yang menuduhnya mempraktikkan ilmu mistis.
Laksmi terganggu dengan rentetan kecurigaan itu. Orang-orang yang penuh prasangka, menganggap dirinya paling benar dalam moral dan agama. Menurut dia, mereka tak mengerti budaya Jawa. Sampai pada titik konflik yang paling ujung, Laksmi kembali ke dunia Jawa-nya: menjadi anjing sekalipun ia akan terus berusaha menjaga sikap dan perilaku dirinya.
Karya lain yang menarik, Ngamar Sutra. Ini sebuah instalasi dinding dari kayu jati. Pada karya itu, Laksmi menggambarkan seorang perempuan yang sedang bersanggama dengan kuda jantan perkasa. Boleh dibilang, karya itu sebagai sikap kritis Laksmi terhadap konteks budaya Jawa, pola patriarkis dan feodalistik, yang masih cukup kuat berakar kehidupan sosial.
Bisa jadi, lewat karya-karyanya Laksmi menilik berbagai persoalan perempuan yang hanya bisa diamatinya dengan sikap kritis. Ya, dengan caranya sendiri, Laksmi tengah bergulat sekaligus mempersoalkan segala macam ketegangan antara ia dan lingkungannya.
ISMI WAHID