Namun, jika benar-benar diamati, maka pengunjung pameran bisa memaknai dengan imaji subyektif. Menurut kurator pameran, Eva McGoven, fotografi berfungsi sebagai cermin pikiran internal dan pengamatan eksternal. Ia merupakan kombinasi pengetahuan dan indera yang disampaikan untuk mengkomunikasikan “kebenaran esensial” tentang subyek serta kualitas romantis yang membuat foto menjadi jendela cerminan jiwa.
“Kita dapat meneguhkan keberadaan subyek karena akurasi fotografi jauh lebih mudah dari gambaran lukisan, maka yang disuguhkan adalah alam semesta paralel, pertunjukan sekaligus hal nyata dan khayal. Yakni, sebuah dunia yang terdiri dari bayangan teknis dan substansi fisik terbingkai,” kata Eva menjelaskan.
Sebanyak 39 karya foto berbagai ukuran dan media terpampang di Galeri Sangkring 2, yang digelar sepanjang 6 Agustus hingga 11 September mendatang. Keduabelas fotografer dari Asia Tenggara itu adalah Eiffel Chong dan Shooshie Sulaiman (Malaysia), Zhao Rehui dan Mintio (Singapura), Michael Shaowanasal dan Tanapol Kaewpring (Tahiland), Frankie Callaghan dan Wawi Navarroza (Philipina). Ditambah, Agan Harahap, Sara Nuytemas, Arya Pandjalu, dan Wimo Bayang asal Indonesia.
Masing-masing fotografer memamerkan sedikitnya tiga foto berseri. Seperti karya Michael Shaowanasai yang menggunakan fotografi sebagai media teater untuk proyek-proyek performance dengan mencari identitas perempuan.
Ada empat foto berukuran 76 sentimeter x 76 sentimeter dengan subyek foto seorang perempuan berbaju kemerahan. Satu wajah namun ada empat simbul agama yang ia kenakan, yaitu kalung salib yang menandakan agama Kristen/Katolik, kalung bintang david yang menyibulkan agama Yahudi, kalung Buddha dan satu lagi perempuan itu menggunakan jilbab sebagai ciri muslimah.
“Foto itu sebagai gambaran penaklukan perempuan dalam agama dan bagaimana mereka dikendalikan oleh sistem patriarki,” kata Eva.
Foto lain karya Zhao Renhui dari Institute of Critical Zoologists berupa foto kucing di tengah padang pasir. Kucing itu merupakan spesies baru. Sedangkan di foto lain terpampang manis seekos burung hantu yang sedang terbang di malam hari dengan mata yang melotot. Komposisi cahaya yang tepat sangat menghidupkan karya foto itu. Di kiri dan kanan terlihat gelap, tetapi tepat di kepala sang burung cahaya sangat membantu kejelasan muka burung hantu itu.
Menurut panitia pemeran Ries Melliana Wijayanti, pameran bertajuk CUT2010: New Photography from Southeast Asia: PARALLEL UNVERSE itu beranjak dari pemikiran bahwa fotografi adalah sebuah mekanisme imajinasi, petualangan, dan pelarian melalui teknik serta subyek. “Apa yang tampaknya akrab, bisa menjadi asing dan mengganggu. Lalu, yang tidak biasa tiba-tiba mampu menyuarakan kebenaran yang universal,” kata Ries Melliana.
MUH. SYAIFULLAH