TEMPO Interaktif, Makassar -
"Saya pergi."
"Iya, jam berapa pulang?"
"Saya pergi. Saya pergi. Saya pergi. Saya pergi meninggalkanmu."
Sorot lampu merah mengarah ke bangku sebuah meja makan. Tak ada apa-apa di atas meja. Sesosok perempuan dengan dandanan cantik duduk diam. "Saya pergi," begitu sang perempuan mulai berbicara kepada suaminya, sosok lelaki yang tak terwujud.
Sang perempuan melangkah terbatas, sempit, dan pendek. Sebatas meja makan dan dapur. Terasa berat. Tak bisa ke mana-mana.
Berbusana minidress merah, perempuan itu mengutarakan niat yang lama terpendam: pergi dan melepaskan rantai rumah tangga yang dirasa mengekang. Begitu gamblang pemain monolog Makassar, Luna Vidya, menggambarkan perasaan terkekangnya kaum Hawa oleh suami. Rasa terkekang ini dimunculkan dalam bentuk belenggu rantai besi sepanjang 3 meter. Kedua ujung rantai terikat ke kaki kanan Vidya dan kaki meja.
Di panggung Teater Arena gedung kesenian Societiet de Harmonie, Sulawesi Selatan, Vidya mementaskan naskah monolog karyanya sendiri, Dapur. Vidya tampil pada festival monolog tahun kedua, Kalamonolog II, 4 Agustus lalu.
Sebelum Vidya, tiga malam sejak 2 Agustus, sejumlah seniman kampus menampilkan dua naskah, Poligami dan Demokrasi, karya Putu Wijaya, serta dua naskah lain, Cermin dan Tolong, karya Nano Riantiarno. Keempat naskah itu dilombakan pada Kalamonolog I tahun 2009.
Seniman muda berkesempatan menampilkan kemampuannya selama 45 menit. "Peserta kebanyakan memilih naskah Tolong dan Poligami. Demokrasi dan Cermin hanya dipilih masing-masing satu peserta, " kata Anggi Purnamasari, ketua panitia.
Festival diikuti empat komunitas teater kampus Universitas Negeri Makassar, yakni Seni Stupa, Lentera Fakultas Bahasa dan Seni, Terkam, serta Teater Titik Dua. Peserta lain dari Sanggar Kassa Universitas Muhammadiyah, teater Universitas Islam Negeri Alauddin, Unit Kegiatan Seni Universitas Hasanuddin Spasi, Teater Satu Mei STIMIK Handayani, serta kelompok teater Universitas 45 Makassar.
Tim juri terdiri atas Arman Dewatri (sutradara film dan mantan ketua Sanggar Merah Putih Makassar, Shinta Febriany (sutradara teater dan pemain monolog), serta Luna Vidya. Untuk menelurkan pemain terbaik, juri menilai berdasarkan kemampuan membawakan naskah atau keaktoran, penyutradaraan, dan tata artistik.
Prioritas penilaian tetap pada keaktoran. Adapun dua kriteria lain hanya kriteria pendukung. Meski kriteria pendukung, tim juri menyoroti sejumlah peserta yang tampil dengan properti tak sesuai dengan naskah. Shinta mengkritik peserta yang kurang riset dan kurang mencari referensi. Akibatnya, tafsiran keempat naskah tak mendalam.
Dalam membawakan Tolong, Shinta mencontohkan, peserta mengartikan pelaku berada dalam penjara dan kamar majikan. "Tak ada yang menafsirkan kondisi tenaga kerja di luar negeri," kata Direktur Artistik Kala Teater Makassar ini. "Padahal naskah berbicara tentang kondisi pembantu rumah tangga."
Peserta rata-rata berimprovisasi dalam penyediaan artistik, seperti tata cahaya, kostum, dan properti. Adapun yang memainkan Demokrasi karya Putu Wijaya melengkapi properti multimedia yang bisa menjadi tirai. Namun hampir semua peserta tak paham cara menggunakan waktu dan set adegan. "Tata cahaya asal ada," kata Shinta.
Arman, ketua tim juri lomba, mengumumkan Wahyu Nursantim dari Universitas Negeri Makassar sebagai pemain monolog terbaik. Aktor dari Teater Titik Dua ini mampu memunculkan ekspresi dan mimik muka dari berbagai emosi serta artikulasi sesuai dengan naskah Tolong yang dibawakannya. Ia menjiwai peran sesuai dengan kaidah penilaian.
"Dia (Wahyu) memenuhi semua kriteria dan titik berat penilaian adalah keaktoran," kata Arman, didampingi Vidya dan Shinta. Pemenang kedua dan ketiga adalah Ade Putrawangsa dan Nurul Inayah. Ade dari kelompok Teater Satu Mei Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Handayani, sedangkan Nurul dari teater kampus Lentera, Fakultas Bahasa dan Sastra.
Setelah mengumumkan hasil lomba, Vidya menutup acara dengan pementasan dari kelompok Kala Teater Makassar ini. Dapur, karyanya, membongkar semua ketidakadilan suami yang diwujudkan secara imajinatif. Vidya menggambarkan pemberontakan wanita terhadap belenggu rumah tangga.
"Saya pergi"
"Alasannya?"
"Kenapa harus ada alasan?"
ABD AZIS
Bakat Besar, Minim Teknik
Seniman kampus punya potensi besar dalam seni, khususnya teater. Namun, sutradara teater Shinta Febriany mengkritik teknik dan kecenderungan seniman mengandalkan faktor "X" dalam pementasan. "Masih mengandalkan penjiwaan," kata dia.
Arman Dewarti menyoroti bakat seniman kampus. Meski berbakat, seniman muda harus terus-menerus dan terukur meningkatkan latihan. "Sulit menjadi aktor terbaik karena mereka berkesenian hanya selama kuliah," kata dia. "Setelah tamat, lupa."
Seniman muda rata-rata tampil dari "nol". Pendahulu yang bagus cepat meninggalkan mereka. Senior perlu kembali berkesenian dan melatih seniman muda. "Perlu selalu ada kegiatan agar terhindar dari konflik, seperti tawuran."
ABD AZIS