TEMPO Interaktif, Beirut - Bagi para penggemar Sex and the City--film dan serial televisi seputar kehidupan empat perempuan lajang yang tinggal di New York--sekuelnya, Sex and The City 2, menjanjikan mode, kesenangan, pertemanan dan lainnya. Para penonton yang menyaksikan penayangan perdananya di Libanon pada 15 Juli lalu merasa film ini memang demikian, terbukti dengan adanya gelak tawa sepanjang penayangannya.
Namun begitu, saya mendapati film ini mengikuti arus kebanyakan film Hollywood yang menampilkan berbagai stereotipe tentang orang Arab dan Timur Tengah. Stereotipe-stereotipe yang hanya semakin memperlebar jurang antara Barat dan dunia Arab.
Alur cerita film ini membawa empat tokoh utamanya dalam sebuah perjalanan ke Abu Dhabi, tempat mereka diundang oleh seorang jutawan. Para perempuan Amerika ini, yang sangat terus terang soal seksualitas mereka, merasa mereka tengah berada di sebuah negara di mana nilai-nilai agama konservatif dijunjung tinggi. Tak pelak segera muncul masalah. Samantha, yang suka blak-blakan soal seks, ditangkap lantaran mencium seorang pria di tempat umum. Ini baru satu contoh provokasi dari film ini tentang kepekaan Muslim konservatif Emirat.
Sepanjang film itu, tokoh-tokohnya menggambarkan Timur Tengah sebagai entitas tunggal. Misalnya, Carrie, yang seorang penulis kolom hubungan percintaan, mengatakan bahwa Timur Tengah adalah tempat yang selalu membuatnya terpesona. Ia menggambarkan Timur Tengah sebagai "padang pasir, Syahrazad, Yasmin dan Aladin", gambaran stereotipikal yang biasa ada dalam film-film Hollywood. Berupaya memahami tradisi negara itu, Miranda, yang seorang pengacara, menyatakan: "Di Timur Tengah, laki-laki dan perempuan tidak berpelukan di depan umum."
Meskipun hal itu boleh jadi benar di beberapa wilayah Timur Tengah, klaim itu adalah sebuah generalisasi berlebihan. Timur Tengah terdiri atas tak kurang dari 24 negara, dan beragam agama, budaya, bahasa serta kelompok etnis. Timur Tengah adalah kawasan yang kaya budaya dan beragam yang patut digambarkan secara lebih akurat dalam film-film.
Film ini akhirnya mempertemukan para perempuan Emirat dan perempuan Amerika melalui kesamaan-kesamaan seperti busana, buku, masalah dengan lelaki, dan tantangan mengatasi menopause. Meskipun film ini punya karakter superfisial, dan menggambarkan budaya Emirat dengan prasangka, sebagian penonton di Timur Tengah maupun Amerika Utara masih bisa menyadari bahwa mereka punya berbagai kesamaan kendatipun mereka hidup di tempat yang terpisah jauh.
Menyoroti pengalaman baru dan eksotik di Abu Dhabi bagi perempuan Amerika, film ini banyak sekali menyoroti perbedaan antara perempuan Amerika dan perempuan Emirat dalam gaya hidup dan mentalitas.
Sebagian penggemar serial ini membelanya sebagai sebuah komedi yang lucu, tapi sebenarnya komedi tetap bisa lucu meski tanpa memakai stereotipe atau generalisasi.
Dengan penelitian yang lebih seksama tentang orang dan masyarakat yang dilibatkan dalam cerita, dan upaya lebih keras untuk menulis naskah yang lebih cerdas dan jenaka, humor bisa digunakan dalam bentuk yang lebih konstruktif untuk menjembatani sekat budaya. Sex and the City punya banyak penggemar di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Karenanya, film ini punya potensi untuk memperkenalkan kepada jutaan penggemar aspek-aspek positif dari orang, masyarakat dan tradisi Emirat Arab.
Beberapa film Hollywood menampilkan tokoh-tokoh yang berasal dari Arab secara positif dan bisa menjadi model bagi para pembuat film yang lain, seperti Robin Hood: Prince of Thieves, film tahun 1991, dengan tokoh yang diperankan Morgan Freeman, Azeem, kembali dari Yerusalem bersama Robin Hood setelah Perang Salib dan menjadi sahabatnya yang disegani. Selain itu, dalam Kingdom of Heaven, film tahun 2005 tentang pengepungan Yerusalem selama Perang Salib, aktor Suriah, Ghassan Massoud, memerankan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Meskipun dia adalah musuh tentara Salib, ia digambarkan sebagai orang yang lurus dan terhormat.
Para pembuat film punya tanggung jawab, khususnya pada masa-masa ketika ketegangan antara dunia Muslim dan Barat meruncing, untuk menghindari penggambaran yang dangkal tentang orang lain. Media visual sangat kuat dalam menyampaikan pesan dan harus digarap secara serius. Ketika pesan-pesan ini menghibur sekaligus informatif, itu bisa membantu para penonton mengerti perbedaan mereka, sebuah modal penting untuk menemukan persamaan.
Carla Haibi, jurnalis lepas Libanon. Artikel ini ditulis untuk CGNews.