Kenangan itu masih melekat pada Ni Wayan Sekaraini, 46 tahun, cucu maestro Joged Pingitan Ni Ketut Cenik. Bahkan, setelah sang nenek meninggal pada Sabtu lalu, kenangan itu terus lekat dalam diri Sekaraini. ”Posisinya tak tergantikan dalam keluarga kami,” kata Sekaraini, yang juga penari.
Ni Cenik meninggal dalam usia 90 tahun. Sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir, ia sempat di rawat di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, sepanjang dua pekan. Ya, jagat kesenian Bali kehilangan salah seorang maestro tari yang luar biasa.
Baca Juga:
Di tangan Ni Cenik, Joged Pingitan--yang merupakan subgenre tarian legong--berhasil dipadukan dengan pelbagai karakter dalam kisah klasik drama Calon Arang. “Belum ada penari yang semumpuni beliau karena bisa memainkan seluruh karakter dalam cerita itu,” kata Wayan Dibia, pengamat tari dan guru besar Institut Seni Indonesia Denpasar.
Padahal, Wayan Dibia menambahkan, variasi karakter dan gerakannya sangatlah kompleks dan bertentangan. Pakem-pakem yang klasik dan sudah paten dalam setiap koreografi tari ini diubah Ni Cenik sehingga menjadi lebih kaya nuansa dan suasananya. Hebatnya, di satu panggung, ia pun mampu memainkannya seorang diri. Kemampuan seperti itu hanya mungkin dimiliki oleh penari yang secara lahir ataupun batin mengabdikan dirinya untuk dunia tari. “Sampai saat ini, belum ada penari yang memiliki kemampuan itu,” ujarnya.
Ni Cenik mulai belajar menari kepada seniman Joged Pingitan I Wayan Kuir, saat masih anak-anak. Ia kemudian belajar menari Arja kepada Anak Agung Mandra Ukiran. Dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan pelajaran menari adalah sebuah proses yang tidak bergantung pada seorang guru. Bahkan ia justru merasa makin matang setelah menjadi seorang guru tari di berbagai pelosok Bali.
Kepiawaiannya menari mengantarkannya berkeliling ke sejumlah negara, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Swiss, dan Jepang. Terakhir pada 2008, di usia yang sudah mencapai 88 tahun, Ni Cenik berkesempatan tampil di Jepang selama sebulan. “Penggemarnya sangat banyak di negara itu,” kata Nyoman Budi Artha, salah satu cucunya.
Tapi Ni Cenik sendiri merasa puas setelah mewariskan ilmunya kepada anak cucu dan orang-orang yang mau belajar kepadanya. Rumahnya di Batuan, Sukawati, Gianyar, hampir selalu diramaikan oleh anak-anak yang ingin menimba ilmu. Ia dikenal memiliki gaya pengajaran yang berbeda karena lebih menekankan ketekunan dan kesabaran dibanding teori dan diskusi. Senyuman selalu tersungging di bibirnya, sedangkan bentakan dan teguran sangat jarang terdengar. Sampai ia sakit, ia masih memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Pada 1 Juni 2010, ia masih tampil di panggung bersama cucu dan cicitnya dalam pentas empat generasi.
Menurut Budi Artha, neneknya menerapkan pengajaran dengan hati agar murid-muridnya mau berdisiplin dan penuh semangat. “Menari jangan sampai menjadi beban,” ujarnya menirukan ucapan sang nenek. Mantra itu terbukti berhasil menjadikan 3 anak, 7 cucu, dan 16 cicit Ni Cenik memiliki kemampuan menari. Mereka sebagian besar telah berkeliling dunia untuk menunjukkan kemampuan mereka.
Wayan Dibia menyatakan semangat Ni Cenik untuk menularkan ilmunya itu adalah sesuatu yang istimewa. “Beliau sangat terbuka dan agak berbeda dengan seniman besar yang lain,” ujarnya. “Watak Cenik menjamin proses regenerasi penari Bali, khususnya dalam gaya Joged Pingitan.”
Sejak 2007, anak cucu Ni Cenik berusaha melestarikan semangat itu dengan mendirikan Yayasan Tri Pusaka. Yayasan ini bergerak dalam bidang pelatihan, pertunjukan, dan pelestarian berbagai tarian Bali, khususnya yang berkembang di Desa Batuan. Berbagai peninggalan Ni Cenik, seperti kostum, gamelan, serta dokumentasi penampilannya, kini disimpan rapi.
Namun cucu Ni Cenik, Budi Artha, akan lebih bersyukur bila nantinya ada satu museum yang bisa mengelola peninggalan neneknya itu secara lebih baik dan dapat dengan mudah diketahui oleh anak-anak muda. “Mungkin disatukan dengan seniman-seniman besar Bali yang lain,” katanya.
ROFIQI HASAN