Karya tiga dimensi berjudul Pencari Madu itu seperti ingin menguatkan daya tarik bunga-bunga dalam pameran tunggal bertajuk Jogja Psychedelia-Flowers from Yunizar, sepanjang 31 Juli – 31 Agustus mendatang. Inilah karya terbaru pelukis Yunizar, 39 tahun, setelah pameran Coretan-Recent Work di NUS Museum, Singapura, pada 2007. Setelah seri bangunan, orang, dan binatang, kali ini seluruh seri bunga dalam pameran kerjasama Galeri Soemardja dengan Gajah Gallery Singapura itu menjadi obyek tunggal yang polos, tanpa sehelai pun daun.
Bunga versi pelukis dari Yogyakarta kelahiran Talawi, Sumatera Barat, itu tampak sederhana. Bentuknya seperti gumpalan awan berkelopak 4 sampai 6 helai. Titik-titik putiknya berkerumun di dalam lingkaran tengah.
Setiap bunga selalu muncul di ujung cabang yang semuanya hampir menjulur simetris. Beberapa cabang hampir segemuk batangnya. Mereka tumbuh di jambangan atau pot berkuping. Satu di antaranya tertancap di dalam botol racun bertanda tengkorak.
Hanya berlatar sapuan cat akrilik, warnanya tampil tegas. Merah, perak, kuning, hitam, dan putih, berpadu padan tanpa saling menindih. Ragam warna itu mengingatkan warna yang biasa terlihat pada pakaian dan upacara adat Minang. Walau terlihat kontras, namun seri Bunga Silver, Bunga Merah, dan Bunga Kuning, terkesan suram. Dekorasi renda atau jahitan benang yang ikut membingkai di setiap lukisannya, seperti ingin menyematkan bunga itu pada setiap hati penatapnya.
Peraih penghargaan lukisan terbaik Philip Morris Award V pada 1998 itu bukan baru kali ini memunculkan bunga. Pada beberapa karya sebelumnya, kembang-kembang hadir dalam ukuran lebih kecil. Mereka berada di antara gambar rumah, bangunan, atau pemandangan, seperti pada karya Rumah dan Bunga Matahari (2010) serta Wangi (2007).
Menurut Yunizar, ia tak punya makna tertentu dibalik tema dan seri lukisan bunganya. "Cuma ingin menangkap visual obyek (bunga) itu, cukup nggak untuk mencurahkan nilai keindahan yang saya punya," ujarnya. Pada tema bunga ini, dia mengaku sangat puas karena berhasil membuat gambar kembang yang berbeda dengan seniman lain sebelumnya.
Kurator pameran Aminudin TH Siregar mengatakan, Yunizar mengandalkan naluri, spontanitas, dan rasa yang menebarkan aroma psikedelik. “Dorongan bawah sadarnya lebih kuat daripada sadarnya,” kata Direktur Galeri Soemardja yang biasa dipanggil Ucok itu. Kekuatan rasa itu pula yang membuat lapisan cat pada kanvasnya terlihat tebal. Yunizar, kata dia, kerap menghapus lukisannya sampai ia mendapatkan rasa itu.
Mungkin juga karena keinginan menggambar itu muncul dari alam bawah sadarnya, Yunizar agak kesulitan menjelaskan kenapa memilih bunga sebagai obyek seri lukisannya. Awalnya Yunizar mengatakan hal itu hanya fase atau periode melukisnya. Kemudian ia juga mengaku hanya melukis sesuai kemampuannya. Konon, menurut Ucok, saat ujian akhir untuk meraih gelar sarjana, dosen-dosennya pun kebingungan saat menanyakan apa maksud karyanya. "Dia sendiri nggak tahu, ya begitu saja," ujar Ucok.
Karya-karya Yunizar, Ucok menambahkan, memang terlihat seperti gaya Art Brut yang bernuansa kekanak-kanakan. Namun Yunizar merasa kurang sreg jika karyanya dinilai seperti gambar anak-anak. "Saya tidak berusaha melukis seperti anak-anak. Memang kemampuan saya seperti itu. Tapi saya tidak menyalahkan orang untuk mengomentari begitu," kataya di sela pembukaan pameran, Jumat malam lalu.
Boleh jadi lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu hanya merendah, atau berkata jujur seperti yang diterapkannya selama proses melukis. Bagi Yunizar, kejujuran sangat penting untuk menjaga kemurnian karya. Caranya dengan menghilangkan atau menipiskan berbagai pertimbangan, seperti selera pasar atau urusan harga karya. Penuntunnya adalah keindahan yang dirasakan dan kepuasan diri. "Dalam berproses, semua dihilangkan. Kalau sudah selesai, baru kita pikirkan bisnisnya," ujarnya.
ANWAR SISWADI