Dengan gaun trendi merah dan putih, dara asal Surabaya, Jawa Timur, itu tampil sangat pede di Hard Rock Café Jakarta. Cilla – begitu sapaannya – berjalan menuju panggung yang dipersiapkan untuknya.
Sesaat berselang, ia berujar, “Usia belia tidak menghalangi seorang Cilla untuk berkarya”.
Tempik riuh dan decak kagum spontan menyeruak di depan panggung. Di umurnya yang masih 14 tahun, sekilas Cilla terlihat “meragukan”. Namun siapa sangka, ia punya kepiawaian untuk mengumandangkan lagu patriotik yang digubahnya sendiri.
Berawal dari corat-coret di kertas, ia mengumpulkan ragam kosa-kata dan memolesnya menjadi sebuah lirik. “Saat itu Cilla ingin sekali buat lagu yang ada maknanya, bukan lagu-lagu cinta yang kosong,” ujarnya.
Ini memang bukan lagu perdana yang dibuat oleh gadis yang dinobatkan sebagai The Best Pianist di Singapura itu. Sebelumnya, di usia 12 tahun Cilla sudah merilis single rohani berjudul I Belong to Jesus.
Cilla hendak mengkampanyekan negeri tercintanya, Indonesia, dengan dua versi bahasa dalam lirik My Indonesia. Tujuannya mulia, agar warga asing bisa mengerti apa yang tengah diagung-agungkan Cilla di atas melodi. “Ada 15 lagu yang saya cipta, dan sepuluh di antaranya berbahasa Inggris, tidak tahu kenapa rasanya mengalir saja,” ujar gadis yang mahir memainkan piano sejak usia tujuh tahun itu.
Semangat dan talenta inilah yang membuat Pongki “Jikustik” Barata kepincut menjadi produser eksekutifnya. Pongky mengaku salut. “Saat umur segini, saya belum bisa seperti dia. Tapi Cilla sudah bisa melakukan apa yang belum bisa saya lakukan. Bahkan Jikustik saja belum punya lagu seperti ini,” kata Pongki.
Tak banyak penyanyi, apalagi pendatang baru yang berani berkumandang di luar tren pasar. Nyali besar Cilla untuk tampil di luar karya mainstream perlu mendapat dukungan. Bahkan ketika kedua orangtuanya menawarinya untuk membuat lagu cinta, Cilla menolak. “Pa, aku kan masih muda, apa yang aku tahu soal cinta”.
AGUSLIA HIDAYAH