Bercerita tentang deras sungai malam, pementasan ini dibawakan 11 seniman. Mereka berbalut kain serba hitam. Tarian, permainan wayang, hingga seni pantomim dipentaskan. Sesekali, di sela jeda pentas, mereka turun ke sungai kecil di belakang pelataran. Mandi berendam atau sekadar membersihkan diri.
Sepanjang hampir lima jam pementasan, tak satu pun mereka bersuara. Hanya gerak dan kesunyian yang ada. Maka jadilah pentas diam tanpa keriuhan penonton malam itu. "Biar hanya ada suara alam," kata Ki Ipang, seorang seniman, seusai pementasan.
Menurut Ki Ipang, pentas ini dilakukan untuk menghayati malam. Tujuannya adalah melepas beban keramaian dan kebisingan. Mereka sekadar ingin berkontemplasi menjernihkan hati dan pikiran.
Meski berpenonton tak lebih dari 10 orang--itu pun hanya para kenalan dan kerabat--tiap detik tahapan pementasan terekam. Sejumlah sukarelawan dari dalam dan luar Magelang melukiskan lewat tulisan dan foto pementasan di dinding situs jejaring sosial Facebook dan Twitter mereka.
Di antara mereka ada Wardah Hafidz (Urban Poor Consortium di Jakarta), Dorothea Rosa Herliany (penyair asal Papua), Safitri Widagdo (antropolog di London, Inggris), dan Hari Atmoko (seorang wartawan di Magelang). Plus Sutanto, sang Presiden Lima Gunung. "Ini pentas eksperimental," ujar Sutanto.
Perkembangan teknologi, Sutanto menambahkan, telah menyediakan ruang baru bagi masyarakat untuk berinteraksi. Bagi dia, ruang itu adalah panggung pentas tak terbatas bagi sebuah pertunjukan seni.
Sementara itu, Sitras Anjilin, pemimpin padepokan tari Cipto Budoyo di lereng Merapi, mengatakan hasrat seorang seniman adalah kepuasan ketika karyanya dihargai secara mendalam saat pementasan. Tak peduli berapa penonton yang hadir, asalkan mereka menghargai, tentu lebih bermakna. "Bukan jeneng (popularitas) dan jenang (harta kekayaan) yang dicari, tapi senang."
ANANG ZAKARIA