Gending yang dipakai untuk mengiringi lakon tak hanya gamelan konvensional. Mereka menggubahnya dengan aransemen yang sangat kontemporer. Dialah dalang kontemporer Ki Enthus Susmono, yang malam itu menyuguhkan pentas wayang yang cukup menarik.
Alkisah Bima, salah satu keluarga Pandawa, ingin mendapatkan ilmu sangkan paraning dumadi dari seorang guru, Resi Durna. Namun, sebelum keberangkatannya, ia dicegat oleh Hanuman yang tak mengizinkan Bima berguru kepada Durna. Alasannya, Resi itu juga menjadi guru keluarga Kurawa yang menjadi musuh Pandawa. Hanuman khawatir atas keselamatan jiwa saudaranya itu.
Namun tekad Bima sudah bulat, siapapun tak mampu menahan keinginannya. Berangkatlah Bima ke Sokalima, tempat gurunya tinggal. Di Sokalima, Resi Durna telah diancam Sengkuni, keluarga Kurawa, untuk melenyapkan Bima. "Di atas panggung sandiwara, jika kekuasaan berbicara tak ada yang tidak mungkin," kata Sengkuni.
Durna dalam posisi dilematis. Ia tak kuasa menolak keinginan Kurawa, namun ia juga tak tega membunuh Bima. Akhirnya, Durna memberi syarat agar Bima mencari kayu gung susuhing angin, kayu rekayasa Durna yang sebetulnya tak pernah ada. Berangkatlah Bima ke rimba belantara. Di sana, ia bertarung dengan dua raksasa kelaparan. Mereka bertarung sengit. Bima memenangkannya.
Kemenangan Bima mengubah ujud dua raksasa itu. Mereka sebenarnya adalah Dewa Bayu dan Dewa Indra yang dikutuk para dewata. Karena bebasnya kutukan itulah, Bima diberi pusaka sakti mustika air samudra yang memiliki keutamaan bisa bernafas dalam air.
Kembalilah Bima ke Sokalima. Lagi-lagi Durna mengajukan syarat. Kali ini mengharuskan Bima mencari air suci perwitasari di laut selatan. Gelombang ganas dan ombak yang bergulung-gulung sempat menciutkan Bima. Teringatlah ia dengan pusaka pemberian Indra dan Bayu.
Di tengah laut, Bima bertarung dengan naga besar. Kemenangan ada di pihak Bima. Naga itu berubah ujud menjadi Dewa Ruci yang tak lain adalah perwujudan tekad, keteguhan, dan jiwa Bima. Sejatinya, Bima telah mendapatkann ilmu itu. "Tetapi sukmamu masih terbungkus panca indramu," ujar Semar saat menjemput Bima.
Tak susah payah penonton mengerti jalan cerita pewayangan itu karena Ki Enthus melafalkannya dengan bahasa Indonesia. Dialog dibawakan dengan gaya kekinian. Sesekali bahasa percakapan keseharian yang tengah tren diucapkan. Dialog bergaya sampakan meluncur begitu saja, menjadikan suasana penuh komedi. Umpatan asu dan goblok bertaburan di setiap lelucon konyol yang dibangun.
Yang unik dan menarik, ketika sampai pada bagian goro-goro (guyonan). Ki Enthus turun panggung dan berganti memainkan wayang orang. Tak hanya tokoh pewayangan, wayang-wayang orang itu ada yang berwujud tokoh politik maupun artis Indonesia, seperti Barack Obama, Gus Dur dan Dedy Corbuzier.
Ketokohan Bima, menurut Ki Enthus sangat relevan dengan keadaan Indonesia saat ini. Ia sangat prihatin dengan sedikitnya jam pendidikan agama dalam kurikulum pengajaran di Indonesia. "Budi pekerti terkikis. Begitu juga dengan tradisi," ujar Ki Enthus.
Bima digambarkan sebagai orang muda yang selalu teguh memegang keyakinannya. Ia terus mencari kebenaran hakiki sebagai wujud eksistensi dirinya.
Pertunjukan berdurasi 2,5 jam ini memberi hiburan sekaligus renungan bagi penonton untuk lebih bersikap kritis terhadap segala sesuatu. Dan Ki Enthus mampu membungkusnya dengan sangat ringan, humoris namun tetap kontemplatif.
ISMI WAHID