Bunga-bunga dalam pot berkuping atau vas itu tampil dalam belasan kanvas besar. Bentuknya hampir seragam. Kelopaknya berkisar antara empat sampai enam helai. Seluruhnya dibingkai dengan warna perak dan motif renda serta jahitan.
Lelaki berdarah Minang kelahiran 1971 itu mewarnai bunganya dengan tegas. Merah, kuning, hitam, perak, berpadu padan. Tampak ada bunga yang lebih kecil atau hampir berimbang dengan batang-batangnya yang nyaris semuanya simetris dan gerigi akar di bagian bawah batang.
Bunga Yunizar tampil bersahaja. Masing-masing tampil tunggal tanpa berhias latar selain warna. Hanya di lukisan berjudul Seribu Bunga, kembang-kembang itu menjadi seperti motif batik.
Sebagai penguat kesan bunga-bunganya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu menempelkan kawanan lebah dalam ukuran dan bentuk mirip aslinya. Kerumunan di sarang yang berjudul Pencari Madu itu menempel di salah satu sudut tembok galeri.
Yunizar mengatakan tak memiliki makna tertentu soal bunga yang dilukisnya. "Saya memilih tema sesuai skill yang saya punya," katanya kepada Tempo di sela pembukaan pameran, Jumat lalu. Ia pun merasa sukses dengan melukis bunga sesuai versinya sendiri.
Kurator pameran Aminudin T.H. Siregar mengatakan, lukisan Yunizar sebelumnya juga memunculkan bunga dalam ukuran lebih kecil yang berpadu dengan gambar rumah atau pemandangan. Sekarang bunga itu menjadi obyek utama. "Dia lebih mengandalkan rasa dan kejujuran, juga spontanitas dan mengikuti alam bawah sadarnya atau psikedelik," ujarnya.
Sebenanrnya, aliran tersebut sudah berkembang lama. Namun, kata Aminudin, belum mendapat tempat dalam halaman sejarah seni rupa Indonesia. Pameran bertajuk Jogja Psychedelia: Flowers from Yunizar itu berlangsung sepanjang 31 Juli hingga 31 Agustus mendatang.
ANWAR SISWADI