-----
Rush: Beyond the Lighted Stage
Sutradara: Sam Dunn dan Scot McFadyen
Banger Production, 2010
-----
Di meja makan restoran bersuasana kabin itu, Geddy Lee, Alex Lifeson, dan Neil Peart menyantap makan malam sambil bercengkerama, mengobrol sana-sini, termasuk menyinggung kemungkinan mereka memulai penggarapan album baru. Di tengah derai tawa, Geddy, yang di usia 56 tahun masih memanjangkan rambut melampaui bahu, berkata, “Kukira kita telah berhasil menghancurkan film orang-orang ini. Aku akan mengingatkan mereka bahwa aku sudah bilang, ‘Kalian akan menyesal.’ Aku bilang, ‘Jangan terkejut bila kalian mendapati betapa membosankannya kami ini.’”
Dia barangkali benar kalau rekaman makan malam hingga empat jam itu diambil sepenuhnya untuk film berjudul Rush: Beyond the Lighted Stage. Tapi, untunglah, film garapan Sam Dunn dan Scot McFadyen ini memenuhi benar janji pada tagline-nya, bahwa inilah dokumentasi tentang “band yang Anda kenal, kisah yang Anda tak tahu”.
Rush. Penggemar musik rock mana yang tak pernah mendengar mereka --hanya namanya sekalipun? Tapi adakah yang tahu persis riwayatnya, bahkan hingga masa kecil para personelnya? Dan adakah yang paham kenapa, hingga kini, mereka tetap jauh dari radar media mainstream betapapun mereka punya penggemar fanatik dan pesona yang masih sanggup menyedot 60 ribuan penonton ketika, pada 2002, menggelar konser di Rio de Janeiro, Brasil, setelah lima tahun vakum?
“Seseorang harus menjelaskan kenapa mereka ada,” kata Billy Corgan, pendiri band alternatif Smashing Pumpkins yang merupakan penggemar trio asal Ontario, Kanada, itu.
Dunn dan McFadyen datang menjawab tantangan itu. Sama-sama berasal dari Kanada, dua sutradara ini kebetulan pernah menggarap dokumenter tentang heavy metal dan perjalanan tur keliling dunia Iron Maiden, band dari masa 1980-an yang pengaruhnya merentang jauh hingga kini. Saat itu banyak orang yang bertanya kepada mereka tentang Rush. “Kami akhirnya menyadari bahwa, secara global, Rush sudah menjadi semacam duta besar rock dari Kanada... Saya kira hal ini membuat saya sadar bahwa band ini punya pengaruh lebih besar di seluruh dunia ketimbang yang sudah pasti diapreasiasi banyak orang Kanada,” kata McFadyen.
Selain mewawancarai Corgan, mereka juga menggali opini sejumlah selebritas rock lainnya --di antaranya Gene Simmons (Kiss), Sebastian Bach (mantan vokalis Skid Row), Kirk Hammet (Metallica), Mike Portnoy (Dream Theater), Trent Reznor (Nine Inch Nail), dan Jack Black (aktor sekaligus personel Tenacious D). Para “bintang tamu” ini tanpa ragu memberikan stempel persetujuan bahwa Rush, dalam kata-kata Corgan, adalah “band orang kebanyakan”, yang “dalam kecanggihannya, bagaimanapun, mereka tidak mengalienasi orang kebanyakan”.
Canggih: satu hal yang mengesankan hal ini adalah bagaimana mereka menulis lirik; mereka termasuk di antara sedikit band yang peduli benar pada isi, dan karena itulah bahkan karya sastra dan filsafat pun sempat mereka adopsi ke dalam lagu-lagu mereka. Neil, drummer yang bergabung pada 1974, menggantikan John Rutsey, berperan besar dalam urusan ini --dia kutu buku yang membaca apa saja. Dia memulainya di album kedua, Fly By Night (1975).
Pilihan yang merupakan keberanian menanggung risiko tidak populer itu oleh Gene Simmons disebut sebagai “hal yang menyebabkan Rush unik”. Tapi bagi kritikus, juga media pada umumnya, justru tak ada daya tarik apa pun pada musik Rush. Salah satu koran menulis begini: “Minat Rush yang tanpa humor (dan terbatas) terhadap tema-tema sastra dan rasa melodi yang minim menjadi sumber konser yang membosankan....”
Dunn dan McFadyen sebenarnya membangun film ini dengan struktur sederhana saja. Mereka mengikuti alur yang biasa, lurus kronologis. Mereka memulai dari pembentukan Rush, masuknya Neil, lalu meneropong lebih dekat periode-periode terpentingnya (ketika mereka memukau para penggemar antara lain dengan La Villa Strangiato, Closer to the Heart, The Spirit of Radio, dan Tom Sawyer), sebelum kemudian memotret posisi band ini sekarang. Tapi, bersamaan dengan itu, ada begitu banyak kejutan, fakta-fakta yang selama ini tak diketahui, yang menjadikan film ini terasa benar kedalamannya.
Cara memotret kehidupan setiap personel, yang multidimensi, membubuhkan elemen yang ikut menjadikan film ini juga menarik bagi mereka yang tak fanatik menggemari Rush.
Misalnya kontras antara Geddy dan Alex, dua pendiri band yang tersisa, dan Neil. Geddy dan Alex adalah pribadi yang bisa menikmati popularitas mereka akan dengan senang hati menyapa penggemar, memberikan tanda tangan, dan lain-lain. Sebaliknya, Neil, yang dengan berkelakar oleh Geddy disebut sebagai “orang baru kami”, menutup diri; dia mengeluhkan kenapa orang-orang meributkan keinginannya untuk tetap menjadi orang biasa. Perbedaan-perbedaan ini toh tak mempengaruhi hubungan di antara mereka.
Dan sesungguhnya dinamika itulah yang mengikat hubungan erat di antara mereka. Pengungkapannya, diakui atau tidak, telah mentransformasikan film ini lebih dari sekadar penuturan blak-blakan tentang riwayat Rush. Kita akan merasakan pula ada pengakuan mengenai cara yang tepat untuk tetap bersahaja di hadapan popularitas yang menjulang, untuk teguh pada pendirian dan orisinalitas, tanpa mempedulikan apa kata orang.
Dengan kata lain, Rush, yang sejauh ini telah menghasilkan 19 album studio, sama sekali jauh dari membosankan. Mereka unik. Di satu bagian, Gene Simmons menyarikannya dengan telak: “Band macam apa sih Rush? Ya, Rush.”
Purwanto Setiadi