Ketika sudah harus berhadapan dengan "lawannya", seorang bocah Tenganan, wajahnya kecut. Toh, dia ketakutan juga ketika sudah turun ke arena pertarungan. Nyali yang dia coba kumpulkan, rupanya menguap entah kemana. Darah segar yang mengucur dari punggung peserta perang rupanya cukup membuat dia takut.
Seikat pandan di tangan kanan dan perisai di tangan kiri tidak cukup baginya untuk menumbuhkan keberanian. Dia pun menghindar sekuat tenaga dan berlari menghindari geretan tajam duri pandan yang menghajar kulit punggungnya. ”Ternyata sakit,” katanya setelah pertunjukkan.
Attila, ayahnya pun tak berhenti berdecak kagum terhadap upacara Perang Pandan ini. ”Kita melihat keberanian, semangat juang dan kebersamaan,” kata Attila. Ini perang pandan pertama yang dia tonton. Dia kagum, dua pasang lelaki dewasa yang sudah bergelut, saling menggeret punggung hingga mengucurkan darah segar dengan pandan berduri, masih bisa berangkulan dan tertawa bersama. ”Hebat!” katanya.
Perang Pandan tidak hanya melulu didominasi oleh lelaki dewasa Tenganan. Sejak kecil, anak-anak di Tenganan sudah dianjurkan untuk turut dalam perang pandan. I Kadek Disna Dwi Putra contohnya. Ini adalah pengalaman ketiga kalinya dia berperang pandan. Pelajar kelas 2 SMP Sengkidu ini mengaku tidak pernah takut melihat darah yang mengucur dari punggungnya.
Lawannya, Ketut Agus juga merasakan hal sama. ”Ada kebanggaan seusai berperang,” kata Kadek. Kesakitan akibat darah yang mengucur di punggung tidak bisa diukur dengan kebanggaan yang didapat seusai berperang pandan.
I Ketut Ardana, Bendesa Adat Tenganan Dauh Tukad, desa sejauh 80 kilometer timur laut Denpasar, tempat perang pandan dilakukan, menyatakan, tidak ada ketentuan apapaun bagi wisatawan yang ingin berpartisipasi dalam Perang Pandan. ”Yang penting mereka mematuhi aturan tidak tidak bikin ribut,” kata Ardana.
Perang Pandan, menurut Ardana bukanlah sebuah pertarungan. Menurut dia, Perang Pandan bermakna semangat melindungi desa dalam menghadapi bahaya yang datang dari luar desa. ”Spirit perang pandan adalah penghormataan terhadap Dewa Indra,” kata dia. Dewa Indra dalam Hindu berarti dewa perang. Setelah ritual ini, upacara dilanjutkan dengan pementasan tari Rejang Dewa di pura desa setempat.
Perang Pandan atau Mekare-kare dilakukan setiap tahun untuk menyambut upacara Ngusaba Desa. Ardana mengungkapkan, perang kali ini diikuti hampir 200 peserta. Masing-masing peserta berhadapan dan dipimpin oleh seorang wasit, biasanya orang yang dituakan.
Kedua kubu dibekali dengan seikat pandan dan perisai dari pohon ate. Mereka lalu bergumul dan menggeretkan pandan di punggung lawan hingga berdarah-darah. Sesuai perjanjian, mereka dilarang menggeretkan pandan ke wajah. Meskipun bertarung, dalam pergumulan kadang ada keceriaan berupa pekik untuk menambah semangat ketika menggeretkan pandan ke punggung lawan.
Iringin baleganjur menambah semangat peserta Perang Pandan. Iramanya yang mengentak dan bertempo tinggi menjadikan geretan pandan membuat semangat pemain untuk menghujamkan pandan berduri di punggung lawan juga semakin keras. Bahkan, ketika lawan sudah jatuh dan mengucurkan darah, geretan pandan tidak berhenti dilakukan.
Namun, seperti kata Ardana, ”Perang Pandan juga mengajarkan sportivitas. Begitu semua selesai, kita akan berangkulan.” Benar, begitu perang selesai, mereka pun berangkulan, tertawa dan bersembahyang bersama.
Wayan Agus Purnomo