TEMPO Interaktif, Bandung-Puluhan anak berbaris keluar dari balik layar putih. Sambil menabuh kentongan bambu dan galon air minum, mereka serempak menyanyikan lagu anak-anak kampung berbahasa Sunda dengan gembira. Selanjutnya mereka ingin memainkan wayang setelah bermain ular-ularan dan menonton televisi.
Lakon tentang rantai makanan seperti dalam buku Ilmu Pengetahun Alam menjadi pilihan. Anak-anak itu lalu berkelompok sebagai padi, tikus, ular, elang, hingga manusia pemburu. Setelah semuanya siap dengan wayang masing-masing di tangan, cerita dimulai dari sawah.
Wayang berbentuk padi muncul perlahan-lahan. “Aku takut diserang banjir,” kata seorang anak perempuan dari balik layar. “Aku takut dimakan tikus,” timpal anak lainnya. “Aku takut gagal panen, kasihan petani,” ujar suara berikutnya.
Begitulah bagian awal pertunjukan Wayang Tavip meluncur di halaman Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Senin (6/7) malam. Hasil inovasi M. Tavip itu langsung mengajak penonton untuk sejenak melupakan wayang tradisional dengan segala atribut dan pakemnya.
Meramu gerak, lagu, dan musik yang dimainkan langsung oleh anak-anak, pementasan wayang selama setengah jam tersebut tak memakai dalang tunggal. Seluruh anak sesuai perannya bebas memainkan wayangnya masing-masing seraya bercerita. Seorang anak perempuan diantaranya yang bersuara merdu merangkap sebagai penyanyi lagu-lagu permainan anak-anak kampung.
Di tangan dosen Seni Rupa STSI Bandung tersebut dan 50 anak pendukungnya, wayang menjadi permainan bersama yang riuh dan menyenangkan. Sekaligus menjadi alat pengantar pesan moral dan pengingat pelajaran sekolah. Untuk menghidupkan suasana dan latar cerita, Tavip memakai alat pemutar gambar serta proyektor.
Wayang yang digunakan sangat sederhana. Pekerja teater kelahiran Lampung pada 1968 itu sejak Maret lalu mengajak anak-anak Kampung Curug, Ciendog, juga Jelekong, Kabupaten Bandung membuat wayang. Bahannya dari plastik transparan dan botol-botol plastik air minum dalam kemasan. Sebagian hanya dipotong-potong lalu dibentuk menjadi ular. Botol lainnya ada yang harus disetrika agar bidangnya rata.
Plastik itu lalu digambar, diwarnai dengan spidol, lalu dipotong sesuai bentuknya. Ragam gambar khas anak-anak yang terkait dengan lakon tentang rantai makanan itu misalnya pemandangan, pohon, padi, elang, tikus, serta sosok pemburu. Sebilah kayu kecil menjadi pegangan wayang plastik itu.
Menurut Tavip, gagasan pembuatan wayang itu untuk melawan kekuasaan televisi. Di layarnya, anak-anak adalah modal, investasi, konsumen, sasaran berondongan iklan, serta korban paling polos dari bujuk rayu pemasar. Figur anak yang dieksploitasi itu, ujarnya, juga meneror nurani konsumtif orang tua.
Selain itu, ia menilai dampak buruk televisi menurunkan ruang kreativitas, imajinasi anak, dan sosialisasi yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka. Dia pun khawatir anak-anak lebih fasih berbicara budaya asing daripada budaya sendiri.
ANWAR SISWADI