Musim panas yang hangat. Tak biasanya bunga tsubaki, yang hanya mekar pada musim dingin, berkembang. Kemunculannya memiliki arti yang sangat menyedihkan bagi keluarga itu. Ya, perempuan rapuh ini harus dibuang di Gunung Obasute Yama. Baba, begitulah mereka memanggil perempuan sepuh ini.
Itulah pentas Teater Hapon, Jepang, bersama mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, dengan lakon Obasute di Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu malam lalu. Pertunjukan yang digelar atas kerja sama Yayasan Peduli Indonesia Makmur dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini diselenggarakan selama 3 hari berturut-turut. Malam nanti adalah pementasan terakhir mereka.
Obasute adalah legenda masyarakat Jepang yang hingga sekarang masih melekat. Dalam kebudayaan mereka, terutama di desa-desa miskin tepi gunung, membuang dan meninggalkan Baba di gunung untuk menghemat persediaan makanan. Namun peraturan itu bisa dilanggar asalkan Baba masih bisa tersenyum di depan anaknya. Bunga tsubaki menjadi penanda, jika bunga itu mekar, nenek yang tinggal di situ harus bersiap untuk pergi ke gunung. "Saya berfokus dengan kisah ini karena penuh ironi dan menyentuh. Meski ceritanya sangat mungkin bisa dihinakan," kata Hara Tomohiko, penulis naskah sekaligus pemeran Baba.
Hara membagi kisah ini menjadi 3 bagian penting, yaitu perpisahan dengan cucu kesayangannya, Hana, yang diperankan oleh Ando Ayuko. Lalu, berpisah dengan anak lelakinya, yang diperankan oleh mahasiswa IKJ, Gatot Prabowo. Dan perpisahan Baba dengan alam sekitar.
Bermula ketika Baba bermain dengan cucunya. Saat perpisahan tiba, Baba memberikan sebuah tarian yang paling bagus untuk cucu kesayangannya. Ia berpakaian paling bagus dan mengenakan topeng yang memberi simbol perempuan paling cantik. Hana sangat tekun menyimak persembahan terakhir Baba untuk dirinya. Suasana menjadi sangat menyentuh saat dibarengi dengan dendang sopran oleh biduan Chiku Toshiaki, yang terdengar begitu liris dan bikin miris.
Perpisahan yang sangat emosional. Konflik batin antara cucu dan nenek yang saling mencintai tampak jelas. Baba memberikan kipas istimewa itu kepada Hana. Tari dan dendang itu seketika berubah pilu. Sang cucu kecil yang lucu menubruk tubuh renta itu dan berteriak serak. "Baba...!"
Baba harus berangkat ke gunung. Digendonglah tubuh renta itu oleh anak lelakinya. Dalam perjalanan, hanya ada galau. Baba, meski dengan ekspresi kepasrahan, di sela-sela ia menari dan menghapus peluh anak lelakinya.
Sesampai di hutan, si anak menurunkan Baba. Ia berusaha sekuat tenaga membangun kenangan-kenangan manis di antara mereka. Itu tak lain agar Baba bisa tersenyum lagi dan aturan buangan itu hilang. Lagi-lagi Baba bergeming. Seperti ia sangat siap menghadapi garis kehidupan itu.
Sang anak meninggalkan Baba dalam kesendirian. Di tengah perjalanan, ia meraung, menjerit, dan mengucap kesedihannya karena perpisahan yang tak diinginkan itu. Baba hanya meratap pilu melihat punggung anaknya. Ia menangis, memeluk tongkatnya seperti tak mampu berdiri. Kesedihan terbentuk tanpa mengada-ada.
Di tengah kesendirian itu, serangga-serangga datang menemani Baba. Menari, berdendang, dan sangat menghibur. Baba terlihat amat senang. "Arigato," begitulah Baba mengucapkan terima kasihnya kepada binatang itu. Perpisahan yang menggembirakan. Ia kemudian meneruskan perjalanannya mendaki gunung.
Menara tangga setinggi 4 meter menjadi simbol gunung yang harus didaki. Dalam perannya, Hara mendaki tangga-tangga itu dan kemudian duduk bersimpuh begitu ia sampai di puncaknya.
Tata panggung memang sangat sederhana. Namun yang membuatnya unik adalah letak properti yang tak hanya satu sudut, tapi juga rata. Boleh dibilang seluruh ruang teater menjadi panggung, tak terkecuali tempat duduk penonton. Menara tangga, misalnya, diletakkan di bagian belakang penonton. Mereka juga meletakkan panggung utama menjadi dua lapis, yaitu bagian atas sebagai panggung sisi lebar dan bagian bawah sebagai panggung kecilnya. Bahkan pemeran, seperti saat si anak lelaki menggendong Baba, melewati barisan penonton.
Penggunaan dialog dalam bahasa Jepang menjadi semacam penyekat bagi transfer detail percakapan. Namun sedikit terbantu ketika peran si anak lelaki yang tetap menggunakan bahasa Indonesia. Hara memang ingin mengedepankan bahasa tubuh sebagai jembatan. Dan mereka berhasil melakukannya. Ekspresi yang dibangun amat mempengaruhi emosi penonton.
Proses kreatifnya juga menarik. Hara mengambil gambaran sebuah novel berjudul Narayama Bushiko, yang berkisah tentang legenda Obasute ini. Kemudian ia mencari lagu-lagu yang sesuai. Selanjutnya Hara berfokus pada gerak dan ekspresi tubuh yang kemudian baru disusul dengan dialog sebagai penghubung.
Garapan ini merupakan adaptasi dari teater tradisional Jepang, Noh, maupun Kabuki. Tak dimungkiri, sebagai sutradara selama 30 tahun, Hara banyak dipengaruhi oleh dua teater tradisional itu. Hara meraciknya dan menginterpretasikan sendiri menjadi lebih kontemporer.
Pada akhirnya Baba duduk bersimpuh di puncak gunung itu. Ia memakai topeng cantiknya sambil melihat ke langit malam. Wajahnya putih dan terlihat bersinar. Lima tahun yang lalu, saat pertama kali lakon ini dipentaskan di Jepang, para penonton melihatnya seperti bulan. Bahkan lagu yang dibawakan oleh Owaki Kaoru dengan gitarnya diberi judul Melihat Bulan. "Kehidupan itu pasti ada pertemuan dan perpisahan. Saya ingin menggambarkan indahnya sebuah perpisahan," ujar Hara.
ISMI WAHID