Menurut Krisna, selama ini banyak orang terjebak pada definisi video sebagai gambar bergerak dan harus memiliki aktor serta narasi. “Dalam pandangan lama, produksi, penggandaan, dan distribusinya tersentral,” kata lulusan Fakultas Seni dan Desain Institut Teknologi Bandung ini.
Media jenis baru justru menghapus konsep sentralisasi itu. Ia mencontohkan, teknologi telepon genggam dengan fasilitas kamera atau video menjadikan semua penggenggamnya sebagai fotografer, aktor, atau sutradara. Akibatnya, jarak antara pembuat dengan gambar yang dibuat pun menjadi hilang. Inilah, tutur Krisna, yang terjadi dalam video panas sejumlah artis yang beredar belakangan ini. “Tak perlu kuliah sinema untuk menjadi sutradara,” ujarnya.
Selain itu, media baru ini juga mengubah pola editing, penggandaan, distribusi, dan tempat menonton. Jika pada film konvensional dengan seluloid penggandaan dan distribusinya tak mudah dan hanya bisa disaksikan di bioskop, media baru justru editing, penggandaan, dan distribusi bisa berjalan simultan. Menontonnya pun bisa dilakukan di semua tempat.
Apalagi, saat ini banyak sekali fasilitas yang bisa digunakan untuk menjadi sutradara atau aktor dadakan. “Simaklah situs YouTube, di situ terlihat sekali semua orang bisa menjadi sutradara,” katanya menjelaskan.
PRAMONO