TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Untuk kali pertama, trah Sultan Hamengku Buwono VII yang tergabung dalam Paguyuban Sapta Wandawa bermain ketoprak di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dari 23-24 Juli 2010. Pagelaran ketoprak yang berjudul “Lereh Keprabon (lengser dari kekuasaan)” tersebut menceritakan sejarah Gusti Raden Mas Murtejo semasa muda hingga dinobatkan menjadi Raja Yogyakarta dengan gelar Sultan HB VII.
“Kami ingin karya pertama ini bisa menjadi wujud pengabdian paguyuban kepada masyarakat,” kata Ketua Paguyuban Murdjiati Gardjito usai pagelaran hari pertama, Jumat (23/7) malam.
Ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada masyarakat melalui pentas ketoprak berdurasi sekitar dua jam itu. Di antaranya sikap legawa yang ditunjukkan Hamengku Buwono VII saat undur diri dari kursi raja, yakni ketika tingkat perekonomian maju pesat. Bahkan usai mundur pada usia 81 tahun pada 29 Januari 1920, Hamengku Buwono VII memilih menjadi panembahan yang tinggal dan berbaur dengan masyarakat hingga wafat pada usia 82 tahun.
“HB VII undur diri tanpa ribut-ribut,” kata penulis skenario Heru Kesawa Murti.
Kisahnya, menurut Heru, bisa memberi referensi yang bijak, bahwa seorang raja juga bisa mengundurkan diri.
Pementasan tersebut secara keseluruhan melibatkan 60 seniman dan 48 orang dari trah Hamengku Buwono VII. Bahkan 75 persen pemainnya dari pihak trah Hamengku Buwono VII. Sedangkan beberapa seniman yang terlibat antara lain Susilo alias Den Baguse Ngarso, Yuningsih alias Mbok Beruk, juga Marwoto Kawer. Pagelaran ketoprak tersebut mengundang seluruh keluarga trah yang merupakan keluarga besar keturunan Hamengku Buwono VII.
PITO AGUSTIN RUDIANA