Pertunjukan resital duo piano itu dibuka dengan karya Franz Schubert berjudul Fantasie in F minor, D.940. Mereka memainkannya dengan duet piano. Setelah itu, keduanya menyuguhkan komposisi karya Samuel Barber: Souvenirs, Op. 28. Dua pianis itu memainkannya dengan teknik empat tangan. Mereka berdua duduk berdampingan dan hanya memainkan satu piano di depan mereka. Edward bermain pada wilayah nada tinggi, sedangkan Stephanie pada wilayah rendah.
Enam bagian karya Barber mereka lantunkan sesuai dengan pesan emosi dalam lagu tersebut, seperti salah satu bagian yang berjudul Galop. Lagu yang riang dan mengentak-entak itu dimainkan dengan ekspresi penuh semangat. Produksi nadanya juga sangat jelas. Akan halnya bagian lainnya, Schottische, mereka mainkan dengan sangat lembut dan terukur.
Selanjutnya, mereka memainkan komposisi Petrushka milik komponis Rusia Igor Stravinsky dan karya F. Poulenc berjudul Sonata. Ada dua komposisi lagi yang mereka mainkan: Scaramouche, Op. 165b karya Darius Milhaud dan Variation on Theme by Paganini karya Lutoslawski. "Lagu itu kami pilih karena tidak terlalu berat. Tentu disesuaikan dengan audiens di sini," ujar Edward seusai pertunjukan. Sebelumnya repertoar ini juga telah dimainkan pada konser amal di Australia bulan lalu.
Ya, kedua pianis itu memang telah mempunyai cukup banyak pengalaman di sejumlah pentas. Edward, pianis asal Australia, pernah unjuk kemampuan dengan The Prague Philharmonic, The Sydney Symphony, Melbourne Symphony, ataupun West Australian Symphony. Adapun Stephanie saat berusia 14 tahun sudah mendapatkan penghargaan Licentiate of the Royal School of Music Diploma. Ia juga pernah unjuk kemampuan pada Aspen Music Festival pada 1998, 2003, dan 2004.
Dua pianis yang kini telah bertunangan itu mencoba duet piano pertama kali ketika mereka sama-sama belajar di Manhattan School of Music, New York, Amerika Serikat. Pada 2008, mereka menggelar konser perdana untuk duo piano. Tentu tidak gampang merintis duet semacam itu dibanding bermain solo: bagaimana mereka menekan ego masing-masing dan menyamakan frekuensi sehingga permainan nantinya tidak timpang. "Kami sama-sama keras kepala. Tapi akhirnya kami bisa berkolaborasi dan saling melengkapi. Kami menemukan jiwa dalam duet itu," kata Stephanie menjelaskan.
Pada akhirnya, karakter permainan mereka terlihat sangat energetik. Meskipun begitu, energi yang mereka keluarkan sangat terukur sesuai dengan karakter lagu yang dimainkan, seperti yang mereka suguhkan dalam konser malam itu.
Pertunjukan kemudian ditutup dengan Hungarian Dance karya Brahms yang diaransemen ulang untuk piano. Mulanya lagu itu untuk vokal dengan iringan orkestra. Repertoar ini dimainkan dengan teknik piano empat tangan.
ISMI WAHID