Indonesia dan Jerman masing-masing mengirim tujuh seniman untuk memamerkan karya mereka di dua kota di Jerman itu. Perupa Sigit, 34 tahun, salah satu peserta asal Lampung, menyatakan proyek kolaborasi seni yang meleburkan dua kultur berbeda itu merupakan sebuah tantangan tersendiri. “Sesuatu yang tak mudah, tapi di situlah tantangannya,” katanya.
Menurut koordinator proyek U(Dys)Topia, Fransziska Fennert, menghasilkan kerja seni bersama Indonesia-Jerman adalah cita-cita mereka. U(Dys)Topia sendiri bermakna perpaduan riil (Jerman) dan gaib (Indonesia). Sejak dulu, menurut Fransziska, kultur Indonesia sudah didominasi khayalan, dongeng, dan mitos (utopia). Sampai sekarang pun, kendati agama sudah berperan besar dalam kehidupan, tradisi dan kebudayaan masih menjadi unsur kuat yang mempengaruhi hidup manusia sehari-hari (dystopia). “Sedangkan Jerman tidak banyak bersentuhan dengan kegaiban. Kulturnya jelas dan terang,” ujar perupa Jerman itu.
Lalu bagaimana jika kedua kultur itu melebur? Hasilnya, kolaborasi seni yang menarik dan rada nyeleneh. Misalnya, ketika dalam pertunjukan seni itu, Sigit berputar-putar dengan sepeda anak-anak beroda tiga di depan gedung arena pameran, dalam kostum Jawa. Atau Fransziska yang menampilkan lukisan bak sebuah dongeng, suku Viking di atas perahu dengan latar belakang malaikat kecil bersayap yang meniup trompet serta spanduk besar dan panjang bergambar rusa terbang. Ada pula salah satu karya peserta yang nangkring di atas gedung bertingkat Museum Freies, Berlin, tempat para perupa itu menggelar karya mereka.
U(Dys)Topia memang bukan suguhan karya yang langsung bisa ditelan lewat logika dan pikiran, seperti umumnya pameran seni rupa. Boleh dibilang, inilah hasil kerja seni yang dinamis dan penuh petualangan--mengajak pengunjung berkelana menikmati karya mereka dalam dongeng dan khayalan.
Itu sebabnya, mencari seniman yang mempunyai corak kerja seni seperti ini pun tidak gampang. “Di samping harus tinggi kualitas karyanya, secara alami karyanya mesti banyak bersentuhan dengan dongeng, mitos, dan legenda, agar tidak melenceng dari tema,“ kata Fransziska, yang merancang proyek ini bersama Lenny Ratnasari Weichert, seniman Indonesia yang sudah beroleh izin tinggal di Jerman.
Menurut Fransziska, seni Indonesia tidak banyak berbicara di gelanggang seni dunia. Umumnya seniman kondang berasal dari negara maju. “Padahal seni Indonesia amat potensial,“ ujar seniman yang pernah mendapat beasiswa di Yogyakarta dan berpameran di Museum Affandi ini.
Dalam kolaborasi seni itu, Fransziska juga menangkap respons positif dari pengunjung. Dan proyek ini masih akan terus berkembang. “Sehingga kelak akan muncul ruang yang lebih luas, agar penghargaan seniman pun lebih besar lagi,“ kata Fransziska.
Sementara itu, perupa Sigit menyatakan kolaborasi seni seperti ini penting dan prestisius dalam karier berkesenian. “Saya beruntung jadi seniman Indonesia,“ ujar Sigit.
Ketua Institut Jerman-Indonesia, yang juga kurator seni, Martin Jankowski, ikut memeriahkan acara itu dengan membacakan buku legenda daerah Jawa Barat: Si Kabayan. Selain itu, rocker jazz asal Indonesia yang bermukim di Jerman, Tomi Simatupang, dan kelompok gamelan Jawa asal Jerman, Puspa Kencana, ikut memeriahkan acara tersebut.
Setelah U(Dys)Topia berakhir di Koeln pada Oktober mendatang, Fransziska berencana menggelar proyek yang sama di Indonesia, tapi bukan dengan pameran seni yang sudah ditampilkan di Jerman. “Semua karya mesti baru,“ katanya. Kini ia masih menggodok rancangan barunya itu, sembari bernegosiasi dengan beberapa institusi dan sponsor.
Begitulah. Tapi apa rasanya berkolaborasi seni dengan perupa Jerman. “Mereka kreatif, tapi terlalu lurus dan kaku. Kadang mentalnya terlalu domestik. Mungkin mereka perlu lebih sering tertawa dan tersenyum,” ujar Sigit. “Di Indonesia memang banyak kendala, tapi di situlah asyiknya,“ ucap perupa itu seraya tertawa.
SRI PUDYASTUTI BAUMEISTER (JERMAN)