TEMPO Interaktif, Kamis malam lalu, musisi asal Taiwan, Lou Chao-Yun, mencuri perhatian ribuan penonton Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) Festival 2010 yang digelar di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah. Di atas pentas, Lou memainkan instrumen musik pipa, sebuah alat musik tradisional khas Negeri Tiongkok. Alat musik itu dimainkan layaknya gitar, tapi dengan posisi tegak ke atas. Bedanya, alat musik pipa hanya memiliki empat dawai.
Dengan alat musik tradisional tersebut, Lou menyuguhkan musik berirama jazz. Alat musik berdawai empat itu menghasilkan irama jazz yang unik. Dawai yang terpasang dengan sangat kencang membuat suara yang dihasilkan terasa tegas. Lou pun tampak begitu lincah dan energetik memetik dawai-dawai tersebut sehingga menghasilkan bunyi yang bertenaga.
Malam itu, Lou membawakan tembang Ambush From All Sides dan Sunny Spring and White Snow. Lagu pertama mengisahkan sebuah peperangan di Cina. Adapun lagu kedua bercerita tentang salju yang turun di musim semi. "Kejadian langka yang sangat indah di Negeri Cina," kata Lou.
Aplaus penonton pecah ketika Lou memainkan lagu Indonesia Raya dengan alat musiknya. Sebagian penonton bahkan mendadak sontak berdiri saat Lou membawakan instrumentalia lagu kebangsaan itu. "Saya selalu mencoba membawakan lagu kebangsaan milik negara di mana saya pentas," ujarnya sesaat setelah pentas.
Boleh dibilang, Lou begitu piawai memainkan instrumen musik pipa berdawai tersebut. Karena kepiawaiannya, perempuan yang sekitar 25 tahun mempelajari alat musik pipa itu mendapat julukan "Pipa Woman". Awalnya, julukan ini diberikan para sahabatnya di Malaysia. Selanjutnya, julukan tersebut bahkan menjadi lebih tenar dibandingkan dengan nama aslinya.
Pengajar musik etnik di berbagai perguruan tinggi itu mulai berlatih menggunakan pipa sejak berusia 9 tahun. "Sangat sulit," kata Lou. Setengah tahun pertama, ia belum bisa membunyikan satu pun nada dari alat musik itu. "Sebab, memetiknya membutuhkan teknik tersendiri."
Menurut Lou, alat musik yang dikenal sejak puluhan abad silam tersebut telah banyak tersebar di pelbagai negara, dari Asia hingga Amerika Selatan. Kebanyakan dimainkan oleh seniman keturunan Cina. Hingga kini masih banyak seniman alat musik pipa yang mencoba eksis di jalur musik tradisional. Namun tak sedikit pula yang mencoba bereksperimen untuk membawakan alat musik itu ke genre musik lain seperti jazz.
Begitulah. Selain Lou, musisi mancanegara yang mampu menyihir para penonton SIEM adalah Albert Chimedza. Musisi asal Zimbabwe ini unjuk kemampuan memainkan alat musik khas dari negerinya.
Alat musik itu bernama mbira. Bentuknya seperti mangkuk besar, berdiameter sekitar setengah meter. Di bagian dalamnya terdapat lempengan logam tipis. Logam tersebut menghasilkan bunyi berdenting saat dipetik dengan ibu jari atau telunjuk. Alat musik ini juga dikenal dengan sebutan piano Afrika.
Mbira yang dimainkan oleh Albert pada Jumat malam lalu itu telah dimodifikasi. Nadanya mirip nada gamelan. Dalam penampilannya, Albert berhasil memadukan alat musik Afrika tersebut dengan perangkat gamelan Jawa yang dimainkan oleh kelompok pimpinan Peni Chandra.
Menurut Albert, ia membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk menggabungkan dua musik etnik berlainan itu. "Saya mulai mengenal gamelan sejak 2006," kata musisi yang dua tahun lalu mengunjungi Indonesia untuk mempelajari gamelan di beberapa kota itu.
Setelah beberapa hari mempelajari gamelan di sejumlah kota di Indonesia, Albert terbang kembali ke Zimbabwe untuk memodifikasi mbira yang dimilikinya. Tangga nada disesuaikan dengan nada gamelan. "Terus terang, gamelan sangat menginspirasi saya dalam bermain musik," ujar pimpinan Fonamombe Mbira Center itu.
Yang jelas, malam itu proses penggabungan gamelan dan mbira dalam pementasan Albert cukup sempurna. Telinga awam mungkin sulit membedakan bunyi perangkat gamelan dengan alat musik mbira. Semua telah bergabung menjadi satu.
l AHMAD RAFIQ (SOLO)