Setelah pertunjukan ini selama beberapa minggu ditulis di halaman depan harian Kompas, kita punya harapan besar terhadap Rahasia Hatiku. Ternyata musikal ini tidak dibangun dengan mis-en-scene nan rancak.
Gagasan memakai lagu-lagu Koes Plus, band terkenal sejak 1960-an, sebagai fondasi utama sebenarnya ide yang menarik. Musiknya menyenangkan didengar, dengan lirik yang cukup bagus. Tetapi variasi "tema"-nya tidak mudah disatukan. Rahasia Hatiku tampak memaksakan diri untuk menyuntingnya dengan plot cerita yang dibuat oleh Bre Redana dan Agus Noor.
Ceritanya begini: grup musik The Band yang dipimpin Yoko pergi ke Tilore, sebuah daerah konflik. Perjalanan itu disertai seorang wartawan infotainmen, Mariska, yang jatuh hati kepada sang pemimpin band. Sesampainya di Tilore, hubungan itu (menurut buku pertunjukan) "menemukan kompleksitas baru". Yoko jatuh cinta kepada Diana, yang ternyata putri tunggal tokoh pejuang Tilore, Da Silva. Yoko "harus menentukan pilihan-pilihan penting" karena itu.
Dengan plot itu, dapat dipasanglah lagu Koes Plus, sejak Diana sampai Da Silva, mulai Kelelawar hingga Pelangi.
Dalam buku program, Bre Redana membuat pembelaan bahwa ceritanya tidak harus "persis" seperti pengalaman hidup si seniman. Penjelasan ini sebenarnya tidak perlu, apalagi uraian sepanjang tiga paragraf tentang bagaimana seharusnya menafsirkan esai Roland Barth. Yang perlu dijawab: mengapa untuk menampilkan lagu-lagu Koes Plus kembali dalam kemasan musikal, cerita harus dibawa ke soal "daerah konflik"? Padahal, untuk mengaitkan Rahasia Hatiku dengan kehidupan "para remaja dan pasca-ideologis", akan lebih asyik dan pas jika ceritanya berlatar belakang kehidupan di "Citos" atau Kemang, misalnya, tempat ngerumpi, makan dan minum para muda.
Mungkin "daerah konflik" dipilih karena penggagas cerita hendak memasukkan komentar tentang kemanusiaan, mungkin pula untuk membuat pementasan dramatik dan tegang. Tetapi, selama satu setengah jam, tidak terasa ada ketegangan dramatik sama sekali. Bagian demi bagian tidak membangun suasana (mood) apa pun. Masing-masing adegan seperti sibuk sendiri.
Penyutradaraan Garin Nugroho kelihatannya tanpa konsep yang matang. Tidak jelas arahnya. Adegan Da Silva jadinya seperti sebuah parodi terhadap seorang hero--aktornya tampak seperti pelawak--padahal sebelumnya (melalui film yang disorotkan ke bagian atas pentas) dikesankan Tilore adalah sebuah daerah yang diserbu oleh marinir, paratrup, dan bom yang menimbulkan korban serta kepanikan. Kita berharap sang pemimpin perlawanan akan lebih angker.
Kita juga tidak tahu kenapa ada adegan gadis-gadis berseragam merah, membawa bantal, dan bicara seperti anak-anak. Ada lagi adegan pembunuhan oleh pasukan rahasia, tetapi tak ada suasana mencekam, meskipun kostumnya berniat serem. Di panggung kadang-kadang dimasukkan prop-prop besar yang impresif (gramafon, biola, koper dalam ukuran raksasa), tetapi ini juga tidak menimbulkan asosiasi apa-apa dalam adegan.
Daerah Tilore mungkin tidak perlu harus ditafsirkan sebagai Timor Loro Sae, tetapi daerah ini tampaknya ada di "Dunia Ketiga" (di mana di negeri maju ada pasukan gerilya?). Tetapi kita lihat ada portir hotel yang mengangkut koper dengan pakaian hotel internasional, ada foto bandara yang seperti di Frankfurt (tanda "Ausgang"), dan orang-orang berjalan seperti berjalan di jalan raya kota besar yang mampu. Kostum yang dipakai di daerah itu--termasuk si Diana--lebih tampak seperti kostum muda-mudi kelas menengah-atas Kota Jakarta. Pendeknya, tidak koheren.
Koreografi yang dibuat Eko Supriyanto tidak membantu, tidak membangun suasana, malah sering kali mengganggu adegan. Para penari buat lagu Kelelawar, misalnya, dengan pakaian mirip kelelawar diletakkan berjubel dengan adegan lain. Satu adegan pas-de-deux dengan seorang pria berbaju bergambar salib di dada dan lingkar kembang (mandala?) di punggung lebih merupakan interupsi daripada aksentuasi pada suasana.
Yang cukup bagus adalah pengaturan musik oleh Yockie. Bantuan paduan suara Universitas Indonesia pimpinan Aning Katamsi cukup jadi selingan yang lezat dalam musikal ini, meskipun sebenarnya tidak perlu misalnya membawa bentuk "hati" sambil digerak-gerakkan; efeknya terasa kekanak-kanakan.
Kita tidak akan berbicara detail tentang akting; mereka yang di pentas itu hampir semuanya belum cukup berlatih untuk itu. Masih kaku dengan sejumlah gesture tangan dan badan yang klise. Suara dialog yang dibantu dengan mikrofon jepit dekat mulut hanya mengganggu penampilan dan tidak membantu memberikan nuansa kepada nada percakapan (hampir semuanya keras).
Mungkin juga ini karena Plenary Hall dan pentasnya bukan tempat yang bagus untuk musikal. Akustiknya tidak cocok dan pentas yang dijadikan bertingkat itu kurang dalam, hingga seperti selalu berjejal. Sayangnya, blocking dan pencahayaan tidak cukup kreatif untuk membuat ruang itu pas buat adegan, terutama ketika diperlukan bidang yang kecil.
Mudah-mudahan kelak, dengan biaya yang besar itu (kita perkirakan sampai Rp 2 miliar), para seniman lebih mampu menghasilkan karya yang akan dikenang sampai lama.
PAULUS SIHOTANG & SOUTANT RAMALI (PENGAMAT BUDAYA)